"Bunda bilang lo yang lempar lampu tidur itu ke Papa. Tapi gue gak percaya. Gue yakin bunda yang sengaja lempar lampu itu ke lo. Tapi malah Papa yang kena," ucap Sean pada saudara kembarnya yang sedang berpura-pura tidur itu.
Sean mendengus karena tak ada reaksi dari Zean. "Gue tau lo cuma pura-pura tidur. Jari kaki lo aja masih gerak-gerak."
Mendengar ucapan Sean membuat Zean dengan cepat membuka mata. Karena sudah ketahuan, Zean pun beralih ke posisi duduk.
"Gimana keadaan papa?"
"Papa udah di kamarnya. Untung aja lampu itu cuma ngenain punggungnya jadi gak ada cedera serius."
Zean pun tersenyum lega.
"Gue mau tidur disini."
Zean langsung menggeleng. "No. Tidur di kamar masing-masing. Kita bukan anak tk lagi."
Bukannya pergi, Sean malah merebahkan tubuhnya dan menarik selimut milik Zean. Lalu memejamkan kedua mata. "Malam ini gue pura-pura jadi anak tk dulu."
Zean berdecak malas. Sean memang sangat bebal. Akhirnya, dengan ogah-ogahan ia ikut berbaring disamping Sean.
"Gimana rasanya jadi anak seorang pembunuh?"
Mata Zean yang sudah tertutup, kembali terbuka. Zean menoleh pada Sean yang tampak menunggu jawabannya.
"Entah. Aku gak bisa mengutarakannya," jawab Zean.
"Tanya gue balik."
Zean mendengus. "Gimana rasanya jadi anak seorang pembunuh?"
"Rasanya gue kayak hidup di neraka. Gue ngerasa sial. Dan ngerasa marah setiap hari."
"Apalagi saat ngeliat wajah bunda dan papa tertera di TV lalu mereka tersenyum lebar ke semua orang. Gue ngerasa malu dan rendah."
Zean menghela napas samar. "Andai aku gak lahir. Mungkin mereka gak akan jadi pembunuh. Dan kamu bisa hidup bahagia."
Sean mendelik. "Kalau lo gak ada. Gue juga gak ada. Kan lo abangnya."
Zean hanya mendengus mendengar itu.
"Gue punya cita-cita. Setelah gue dewasa dan bisa cari uang sendiri, gue akan putuskan hubungan gue dengan keluarga ini."
Mendengar hal itu Zean langsung menatap heran. "Kamu gila? Kamu pikir siapa yang sudah membesarkan kamu sampai seperti ini?"
"Diri gue sendiri."
Zean menoyor jidat Sean. "Bodoh."
"Sebenarnya apa yang udah lo dengar dari papa dan Bunda, sampai lo minta Kanaya buat berenti mencari tau soal kematian kakaknya?"
Raut wajah Zean langsung berubah. "Aku gak dengar apa-apa."
"Gue tau ada yang gak beres. Karena akhir-akhir ini pun, lo keliatan menjauh dari Kanaya."
"Udah aku bilang, aku gak mau Kanaya lakuin hal yang sia-sia."
"Tapi itu bukan alasan satu-satunya. Gue yakin lo dengar sesuatu dari mereka."
Zean berdecak keras. "Aku ngantuk."
Sean mendengus kala melihat Zean pura-pura tidur lagi untuk menghindari pertanyaannya. Tak menyerah, Sean mulai memutar otak untuk menemukan jawabannya sendiri.
Papa mau mencalonkan diri jadi wali kota. Dan sebentar lagi pemilu akan diselenggarakan. Andai ada seseorang yang membuat laporan tentang kejahatannya, papa mungkin bisa terancam gagal ikut pemilu. Dan yang gue tau, papa udah mempersiapkan diri sejak lama untuk itu. Mungkin aja dia bisa, celakain siapapun yang menghalangi jalannya. Batinnya.
Mata Sean membulat sempurna. "Mungkin aja papa bisa celakain Kanaya kalau Kanaya menggali soal pembunuhan kakaknya."
Sean bangkit dari tidurnya dengan raut panik. Begitu juga Zean yang tampak terkejut.
"Nyawa Kanaya dalam bahaya kan?"
Dengan sangat terpaksa, Zean menganggukkan kepalanya.
"Argh sialan!" Sean langsung meremas rambutnya frustasi. "Apa mereka gila? Buat menutupi kejahatan lain, apa mereka harus nekat ngelakuin kejahatan itu lagi?"
Zean memegangi kedua pundak Sean yang tampak gelisah. Lewat tatapan mata, Zean meminta Sean untuk tenang.
"Kenapa lo nyimpan hal sebesar ini dari gue?"
Zean terdiam sejenak. "Aku takut kamu terbebani dengan masalah ini. Jadi biar aku saja yang menyimpan semuanya. Aku bisa mengatasi ini."
"Gue mau bicara sama papa dan Bunda. Gue harus bikin mereka sadar!"
Zean buru-buru menahan Sean yang hendak turun dari kasur. "Jangan bertengkar dengan mereka. Papa lagi terluka sekarang."
"Gue gak peduli!"
"Pikirkan kondisi Bunda. Dia sekarang berbeda Sean. Bunda bukan bunda kita yang dulu lagi. Dia gak cukup sehat seperti dulu lagi. Jangan bikin Bunda terluka."
Sean mendesis melihat wajah cemas Zean. "Gue tau. Bunda punya gangguan psikis dan gak boleh tertekan. Tapi diluar itu dia juga masih bisa membedakan perbuatan baik dan buruk kan? Dia pasti bisa sadar dan mengakui kesalahannya. Gue mau mereka bayar perbuatan mereka sendiri. Jadi lebih baik gue liat mereka dalam penjara daripada bebas. Karena mereka malah mencelakai orang-orang gak bersalah kayak kak Raya."
"Aku yang akan menjebloskan mereka ke penjara," kata Zean.
Sean mengernyit. "Lo?"
Zean mengangguk. "Aku minta Kanaya untuk gak mencari bukti soal pembunuhan kakaknya. Sebagai gantinya, aku berjanji pada diri sendiri, kalau aku akan memasukan orangtuaku sendiri ke penjara."
"Gimana caranya?" Sean sangat penasaran.
"Caranya belum aku temukan. Tapi aku gak akan mengingkari janji."
"Lo harus libatkan gue."
Zean mengangguk.
"Gue mau nurut sama lo. Karena lo kakak gue. Gue harap lo gak ngecewain gue." Sean akhirnya kembali membaringkan tubuhnya. Menutup mata untuk menyapa mimpi bersama-sama.
Sebelum larut dalam tidur, Sean berucap sekali lagi.
"Saat gue buka mata lagi, gue harap lo dan gue terlahir di keluarga miskin yang bahagia, Zean."
.....
Nina dengan cepat mematikan TV yang tengah menayangkan bakti sosial calon pemilu.
Disana ada Radith dan Rinjani yang tersenyum lebar saat membagikan buah pangan pada warga, seolah-olah hati mereka benar-benar bersih dan mulia.
Awalnya Nina juga berpikir begitu. Awalnya ia tak begitu percaya akan yang dikatakan Kanaya. Namun, melihat sikap putrinya yang berubah pendiam membuat Nina jadi percaya.
Maka Nina mulai mencari tahu. Seperti apa keluarga Radith dan Rinjani. Apa saja yang mereka miliki. Dan sebesar apa kekuatan mereka.
Dan ternyata, ketika Nina berniat membawa para pembunuh itu ke jalur hukum, Nina harus mundur. Setelah tahu seberapa kaya rayanya keluarga Masheyaka itu. Dan seberapa besar kepercayaan publik pada mereka.
Nina berpikir, jika kematian Raya bisa mereka lakukan dengan mudah dan tanpa meninggalkan jejak. Berarti mereka memang punya koneksi yang luarbiasa.
Meski marah. Nina harus mengubur keinginannya. Dan mementingkan keselamatan putrinya, Kanaya Sabila.
Nina mengepal kuat kedua tangannya. Hatinya terasa sesak. Sangat sesak. Ia benar-benar tak berdaya. "Maafkan Mama, Raya. Maafkan mama."
.
.
.
.
.Siapkan diri kalian. Ada kejutan besar setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?