Setelah diusir paksa oleh Zean, sekarang di sini lah Kanaya dan Sean berada. karena masih merasa ada yang mengganjal dalam hati Kanaya, alias ia tidak merasa tenang, ia meminta Sean untuk berhenti sejenak di atas sebuah jembatan. Mereka berdua sempat membeli minuman dari penjual asongan yang berlalu.
"Gue tau lo masih bertanya-tanya soal sikap bunda ke Zean, Nay," ucap Sean memulai percakapan begitu mereka berdua sudah berdiri bersisian di balik pembatas jembatan.
Kanaya mengangguk pelan. Ia menoleh menatap Sean yang sedang memandang lurus ke depan. "Apa Zean emang sering dapat perlakuan buruk dari orangtua kalian? Karena gue ngerasa, apa yang tadi gue liat itu bukan kejadian yang pertama kali," ujarnya to the point.
Perlahan, Sean menundukkan pandangannya pada aliran air di bawah jembatan. "Gue malu harus mengakui ini. Gue malu karena gak bisa melindungi saudara gue dengan baik selama bertahun-tahun," ucapnya diakhiri senyuman getir.
"Bertahun-tahun?" ulang Kanaya dengan mata sedikit membola. "Selama bertahun-tahun Zean diperlakukan seperti itu oleh bundanya sendiri?"
Sean menelan salivanya, lalu mengangguk meski berat. "Kalo lo ada diposisi gue. Apa yang bakal lo lakuin, Nay?" tanya Sean tiba-tiba.
Tanpa pikir panjang Kanaya menjawab, "Gue bakal bawa Zean menjauh dari keluarga itu dan buat dia bahagia setiap hari," tegasnya.
"Gue juga pernah mau lakuin hal itu. Tapi Zean nolak. Dia terlalu sayang dengan orangtua kami." Merasa tenggorokannya sesak saat menceritakan hal ini, Sean segera meneguk teh dalam kemasan botol yang ada dalam gengamannya.
"Jadi dia memilih bertahan dengan luka setiap hari?" tanya Kanaya heran. Kedua matanya kembali berkaca-kaca.
"Entah." Sean terkekeh miris. Ia juga tak begitu tahu apa yang ada dipikiran Zean.
"Kenapa Zean berpikir dia membebani, An? Gue gak suka dengan kalimat begitu. Gue gak suka kalau dia ngerasa kekurangannya itu bikin dia jadi beban buat oranglain. Karena di mata gue, Zean sama sekali gak kurang." Kanaya menatap senja di ufuk timur dengan wajah sendu.
Sean menatap Kanaya sejenak. Ia paham apa yang dirasakan Kanaya. Karena dirinya pun memang tidak suka ketika saudaranya berkata begitu. "Lo bisa tutup mulut kan?"
"Hah?" Kanaya menoleh, menatap Sean bingung.
"Lo bisa tutup mulut soal sifat Bunda? Gue takut lo bakal ceritain hal ini ke oranglain."
Kanaya berpaling. "Gue gak tau. Gue gak mau Zean terluka terus-menerus."
"Lo gak usah khawatir. Gue bisa jagain dia."
"Tapi tadi lo telat, An. Wajah Zean udah memar-memar. Bahkan kayaknya ada luka bekas kemarin. Berarti lo kurang ketat melindungi dia."
Sean mengangguk. "Gue janji bakal melindungi dia dengan lebih ketat."
Setelah mendengar ucapan Sean, Kanaya memilih diam. Mengisi beberapa detik dengan kesunyian. Sama-sama tenggelam memandangi senja.
"Waktu gue liat tante Rinjani mukulin tubuh Zean. Zean sama sekali gak membuat perlindungan buat tubuhnya sendiri. Seolah menginzinkan ibunya buat terus pukulin dia. Padahal gue tau fisik Zean gak selemah itu untuk di tindas. Apa lo tau apa alasannya?" tanya Kanaya, menatap Sean dengan serius.
"Untuk hal ini, gue juga belum bisa dapat jawabannya. Karena gue sendiri penasaran."
Kanaya menghela nafas. "Gue mau melindungi Zean, An. Dengan cara gue sendiri."
Sean menatap Kanaya yang tampak menggebu-gebu. "Makasih, Nay, karena lo udah begitu tulus buat turut melindungi Zean. Tapi kalo lo mau melindungi Zean dengan cara yang paling benar. Lo cukup jangan muncul sebagai teman Zean di hadapan Bunda dan Papa. Karena mereka gak mau Zean punya teman ataupun seseorang yang selalu deket sama dia."
Kening Kanaya mengkerut mendengar penjelasan tak masuk akal itu. "Kenapa begitu?"
Kembali Sean menampilkan senyum getir miliknya. Yang Kanaya tahu bahwa Sean tengah berusaha tegar untuk mengatakan jawabannya. "Karena mereka pikir orang bisu gak layak mempunyai teman."
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?