Di ruangan lain, seorang ibu juga tengah menangis sambil memeluk tubuh putri kesayangannya. Padahal ia baru bangun dari pingsannya. Namun dirinya kembali menangis akan kondisi putrinya itu.
"Sayang, bangun. Bangun Naya. Jangan tinggalin mama," ucap Nina untuk kesekian kali.
"Nina. Kanaya pasti bangun. Dia gak mungkin ninggalin kita." Reyhan mengusap-ngusap punggung istrinya. Meski ia ingin menangis, tapi ia harus menahannya agar terlihat kuat.
"Aku gak mau kehilangan lagi. Aku takut Naya ninggalin aku kayak Raya."
"Naya kita gak akan pergi. Naya pasti segera bangun. Kamu harus sabar."
Nina kembali terisak. Diusap-usapnya rambut Kanaya. Putrinya yang sedang mengalami koma. "Naya anak yang baik. Naya anak mama yang cantik. Jangan pergi ya, sayang. Mama kesepian kalau gak ada kamu."
Reyhan mengepal tangannya tanpa sadar. Melihat betapa kacaunya kondisi Nina, membuat hatinya sesak. Sebenarnya ia ingin segera mengusut kecelakaan yang dialami putrinya, namun Reyhan sulit untuk meninggalkan Nina yang seperti itu.
"Cepat bangun, sayang. Mama bakal disini setiap saat. Mama gak akan pergi kemanapun. Mama takut kalau mama pergi, kamu berhenti bernapas. Seperti Raya."
Sekali lagi, Reyhan tertegun. Kini, hatinya dua kali lipat lebih sesak. Kecelakaan Kanaya memang sangat mirip dengan kecelakaan Raya. Apakah ini memang kebetulan?
Itulah yang selalu Reyhan pikirkan. Namun, Reyhan sama sekali belum bisa bergerak mencari tahu kejanggalan itu.
Ceklek.
"Tante, Om."
Reyhan dan Nina menoleh ke arah pintu yang barusaja terbuka. Menatap heran kehadiran seorang pemuda seumuran Kanaya.
"Dia.... Zean?" tanya Nina pada suaminya.
"Sepertinya bu--"
Belum rampung Reyhan menjawab, Nina sudah lebih dulu bangkit berdiri dengan kasar. Kemudian menghampiri anak lelaki yang sedang berdiri dekat pintu itu.
Plak!!
"GARA-GARA KAMU! PUTRI SAYA MENGALAMI KECELAKAAN!"
Sean membeku. Tamparan kuat dipipi kanannya cukup mengejutkan. Namun teriakan wanita dihadapannya itu lebih membuat dirinya terkejut.
"Ma-maksud tante?"
"SAYA SUDAH PERINGATKAN KAMU, UNTUK MENJAUHI PUTRI SAYA! SEKARANG LIHAT, GARA-GARA KAMU DIA HARUS KOMA!!" Nina sudah mencengkram kerah baju yang Sean kenakan dan menatapnya berapi-api.
"Nina!" Reyhan bergerak cepat. Mencoba melepaskan tangan Nina dari Sean. "Nina lepaskan. Dia bukan Zean. Dia Sean."
Nina mengernyit. "Lalu dimana Zean?"
"Zean koma, tante," jawab Sean seraya tersenyum getir. "Dan saya pikir. Kecelakaan yang dialami Kanaya bukan karena saudara saya."
"Ada urusan apa kamu kesini?" tanya Reyhan dengan tatapan tajam.
"Saya mau lihat kondisi Kanaya, Om."
"Lebih baik kamu pergi," ucap Reyhan mengusir.
"Aku harap anak itu mati." Nina yang sempat diam. Kini bersuara kembali. Ucapannya membuat alis Sean saling menaut.
"Maksud tante? Tante mengharapkan Zean mati?" tanya Sean geram. Nina mengangguk. "Apa tante gak punya hati nurani?"
"Kalau Zean mati. Dia gak akan muncul dalam hidup Kanaya lagi. Jadi Kanaya bisa hidup dengan tenang dan aman," sahut Nina dengan raut datarnya.
Sean menggeleng. "Zean akan bangun lagi. Dan setelah dia bangun. Saya akan baya dia pergi menjauh dari Kanaya. Karena Kanaya lah, Zean jadi kehilangan akal."
Nina tersenyum miring. "Aku akan berdoa dia mati."
"Tutup mulut anda!"
"Nina. Kamu gak boleh berkata seperti itu." Reyhan menarik tubuh Nina agar menjauh dari Sean. Kemudian Reyhan kembali menatap Sean. "Pergi dari ruangan ini."
Sean terdiam. Sebelum akhirnya menuruti perintah Reyhan. Ia akhirnya menarik knop pintu dan berjalan keluar dari ruangan.
"Jadi ibunya Kanaya, pernah menemui Zean?" Sean bersandar pada tembok. Berpikir sejenak. "Gak mungkin ini ulah bunda dan papa. Mereka udah mengizinkan Zean punya teman."
Namun ketika mengingat raut amarah Nina tadi. Sean sedikit gamang. "Gak mungkin. Sekarang mereka udah sadar."
.....
Esoknya.
"Ze, lihat, bunda udah bawakan salad kesukaan kamu. Jadi sekarang, ayo bangun."
Rinjani tersenyum cerah. Di masing-masing tangan, sudah memegangi mangkuk salad dan sendok. Siap untuk menyuapi.
Namun, putranya masih betah menutup mata. Tanpa pergerakan sedikit pun.
"Kenapa kamu bandel sih, sayang. Ini bunda mau suapin kamu lho. Ayo buka dulu mata kamu." Rinjani mulai kesal. Bujukannya tidak mempan.
"Ini enak lho. Bunda cuma bikin buat kamu aja. Kamu harus makan sekarang. Atau nanti dihabisan Sean."
Hening. Mata Rinjani masih setia memandangi wajah pucat pasi.
"Kamu gak kangen sama bunda?"
Mata Rinjani melebar. Karena setelah mengatakan itu, cairan bening terjun dari kelopak mata Zean yang tertutup.
"Kamu nangis, sayang. Kamu dengar bunda ya?"
Dengan tangan gemetar, Rinjani mengusap air mata Zean. Kemudian berbisik pelan. "Bunda sayang kamu, Zean Mahesyaka."
"Cepat bangun, ya. Supaya bunda bisa dengar dan lihat suara tawa kamu yang indah."
Namun, meski setelah mengutarakan banyak cinta dan membawakan salad kesukaan Zean dari hari ke hari, Zean masih tetap betah menutup mata.
Malam ke malam terus berganti.
Hari ke hari mulai terasa sunyi.
Rinjani dan Radith seolah sedang dipermainkan oleh alam semesta untuk menderita dari hari yang dilalui tanpa ketidakpastian mengenai hidup putra yang mulanya sangat mereka benci.
Tuhan seolah berkata, selamat menikmati.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Ficção AdolescenteSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?