007. Meet again

3.7K 205 1
                                    

16 hari kemudian.

Pagi-pagi sekali Kanaya sudah tampil cantik. Iya, di hari minggu yang biasanya Kanaya habiskan untuk tidur sepanjang hari, tapi kali ini Kanaya malah dengan ajaib bangun sebelum fajar dan melakukan ritual mandi pagi.

Mungkin kalian berpikir Kanaya akan pergi menemui pujaan hatinya. Tapi salah. Karena wajah gadis itu tidak memancarkan binar bahagia layaknya seorang gadis yang tengah jatuh cinta, melainkan sebaiknya.

Itu karena ia tengah merindukan seseorang. Sangat-sangat rindu, sampai ia akhirnya masuk ke dalam sebuah kamar yang berada di sebelah kamarnya. Kamar sunyi yang selalu tertutup rapat dan tak lagi berpenghuni. Kamar yang meninggalkan banyak kenangan. Namun penghuninya telah lama pergi dari sana.

"Kak Rara, Kanaya kangen tau." Kanaya duduk di tepi kasur sembari memegangi bingkai, memandangi foto seorang perempuan dewasa yang sedang merangkul dirinya yang kala itu masih berumur 10 tahun.

"Kanaya pengen cerita sama kak Rara kayak dulu lagi," ucap Kanaya lagi pada gadis dalam bingkai tersebut. "Kanaya pengen banget cerita soal Zean, kak. Kanaya pengen banget dengerin saran kakak sekarang. Kanaya pengen tau gimana caranya buat gak terlalu memikirkan cowok itu?"

Kanaya menghela nafas perlahan. "Andai kak Rara gak pergi secepat ini. Aku yakin sekarang kakak masih tubuh jadi gadis dewasa yang cantik dan baik hati."

"Naya?"

Kanaya menoleh cepat ke arah pintu begitu mendengar suara sang ibu. "Ya, Ma?"

"Kamu lagi apa, sayang?" tanya Nina dengan senyum tipis.

"Lagi bicara sama kak Rara," jawab Kanaya sembari menyengir. Ia pun kembali meletakkan bingkai foto di atas nakas. "Hari ini, dua taun tepat kepergian kak Rara. Kita mau ke panti asuhan yang kak Rara sering kunjungin kan, mah?"

Nina mengangguk. "Iya, Nay."

"Yaudah, ayo. Kanaya udah siap, nih," ujar Kanaya membuat Nina terkekeh geli mendengarnya.

"Iya, ayo, sayang. Tapi ayah gak bakal ikut katanya, lagi flu."

"Ayah lagi flu?" ulang Kanaya. "Udah minum obat belum?"

"Udah kok. Kamu jangan khawatir."

Kanaya pun mengangguk pelan. Kemudian segera berjalan turun ke lantai bawah bersama sang ibu.

.....

Tiba di panti asuhan, Kanaya langsung menghampiri ruang kamar anak-anak berusia 2-3 tahun dan membagikan makanan ringan dan buah-buahan pada mereka. Sementara itu ibunya Kanaya langsung menemui pemimpin panti asuhan untuk memberikan dana sumbangan atas nama putri pertamanya yang sudah wafat.

"Ish kalian pada lucu-lucu banget deh. Pada minta diculik inimah," ucap Kanaya sembari mencubit gemas pipi gembul anak-anak itu satu persatu.

"Kakak ini namanya ciapa?" tanya seorang gadis kecil berumur 3 tahun. Mulutnya penuh dengan buah semangka yang diberikan Kanaya.

"Nama aku, Kanaya. Kalo nama kamu siapa?" tanya Kanaya sembari memainkan rambut panjang anak itu.

"Aku Sifa. Kakak secini cama ciapa?"

"Emm. Sama Mama," jawab Kanaya lagi.

"Bukan cama kakak ganteng?" tanya Sifa sembari mengerjap polos.

Kanaya pun menggeleng, sedikit heran. "Kakak ganteng siapa?"

Sifa pun meraih tangan Kanaya yang sedikit lebih besar dari tangan mungilnya, kemudian menarik tangan Kanaya agar berjalan mengikutinya keluar ruangan menuju halaman belakang yang dihiasi berbagai macam tanaman cantik.

"Itu dia. Kakak gantengnya cuka diem cendirian di cana kalau lagi cedih. Kakak Kanaya tolong hibul kakak ganteng supaya gak cedih lagi ya?" tanya Sifa sembari mendongak menatap Kanaya.

Kanaya pun menyipitkan kedua matanya, ia merasa tak asing dengan punggung seorang lelaki yang sedang duduk di atas ayunan pohon itu.

"Kakak?" Sifa memanggil karena Kanaya tidak menjawab pertanyaannya.

Kanaya pun menunduk. Lalu tersenyum pada Sifa seraya mengusap kepala Sifa. "Iya. Kakak bakal hibur kakak gantengnya. Kamu masuk lagi ke dalam ya?"

Sifa mengangguk cepat kemudian berlari pergi dari sana.

Setelah memastikan Sifa masuk, Kanaya pun berjalan mendekati lelaki yang menggunakan headphone berwarna biru muda itu.

Kenapa postur tubuhnya mirip dengan....

Karena Kanaya amat penasaran, ia akhirnya berjalan mengelilingi ayunan hingga berdiri tepat didepan lelaki itu.

Deg.

Kanaya mematung. Di telisiknya wajah yang damai itu dengan perasaan sedikit senang. "Ternyata benar," gumamnya pelan.

Zean membuka kedua matanya yang sedari tadi terpejam menikmati alunan musik. Membuat netra cokelatnya beradu dengan netra hitam milik Kanaya.

Kanaya tidak bisa berkata-kata. Pasalnya setelah kejadian dua minggu lalu, Kanaya tidak pernah lagi bertemu dengan Zean. Karena nomor lelaki itu mendadak tidak aktif. Di tambah lagi, Sean selalu menghindar kala Kanaya bertanya soal Zean.

Lalu tiba-tiba, hari ini mereka bertemu.

Zean melepas headphone di telinganya. Kemudian turun dari ayunan. Berdiri dihadapan Kanaya.

"Zean. Wajah kamu...." Kanaya meringis ngilu melihat luka-luka memar di wajah Zean. Setelah dua pekan tidak bertemu, Kanaya malah dikejutkan dengan wajah babak belur itu.

"Aku obatin ya. Tunggu disini, aku mau minta kotak obat dulu."

Kanaya hendak pergi, namun tangannya lebih dulu di tahan oleh Zean.

Cowok itu menggeleng kecil. "Ini udah diobatin."

Kanaya mengernyit. "Sama siapa?"

Zean menunjuk ke arah ruang bermain. Tepatnya, menunjuk seorang gadis kecil yang sedang mengintip dibalik jendela.

"Sifa?"

Zean mengangguk.

"Kamu sering ke sini, Ze?"

Lagi, Zean mengangguk. Lalu berkata, "Aku datang ke sini untuk mengenang hari wafatnya kakak aku."

Kanaya sangat terkejut mengetahui hal itu. "Aku juga datang kesini untuk mengenang hari wafat kakak aku. Sewaktu hidup dia sering mengunjungi panti asuhan ini."

.
.
.
.
.

Nextt??? ADA SEDIKIT KEJUTAN DI CHPTER SELANJUTNYA!

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang