Epilog.

3K 142 23
                                    

Sempat di unpublish karena revisi ulang dibagian akhir.
Selamat membaca ♡
.
.
.
.
.
Kanaya turun dari taksi lalu berjalan memasuki area taman yang dihiasi lampu-lampu di setiap pohon.

Taman yang menjadi tempat pertama dirinya bertemu dengan Zean. Kanaya putuskan untuk berbicara dengan Sean disini.

Langkah kaki gadis itu menganyun ke arah danau. Dan saat tiba disana, tampak seorang lelaki berjaket abu berdiri menghadap danau.

Ia pun menghampirinya. "Halo, An."

Sean memutar tubuhnya. Menemukan Kanaya yang berdiri dengan sweater berwarna putih yang melekat ditubuh. Sean tersenyum tengil. "Lo nyapa gue?"

Kanaya mendengus. "Bukan. Nyapa pohon."

Ia lalu berjalan menuju kursi besi panjang yang tersedia kemudian duduk. Sean pun mengikuti lalu duduk disamping Kanaya.

"Gue belum sembuh, An," ungkap Kanaya di tengah keheningan.

Sean mengangguk. "Gue tahu. Diantara kita, gak ada yang bisa sembuh secepat ini."

"Maaf kemarin gue selalu menghindari lo. Karena gue selalu mau nangis setiap liat wajah lo. Masa iya gue nangis tiaphari di sekolah," ujar Kanaya lalu terkekeh.

Sean ikut terkekeh. Keduanya sama-sama memandang lurus ke arah danau yang tenang.

"Bukan lo doang. Gue juga gitu. Setiap liat wajah sendiri gue mati-matian buat gak lemah. Tapi nyatanya gue selalu gagal," sahut Sean membenarkan.

Melihat jemari tangan Sean yang bertautan di atas paha. Tatapan Kanaya terpaku pada jam tangan berwarna biru yang Sean pakai malam ini.

"Jam tangan itu...."

Menyadari tatapan Kanaya, Sean langsung menyentuh jam tangan di tangan kirinya. "Ini memang punya Zean."

Kanaya mengernyit. "Kenapa lo pakai?"

Sean mengangkat bahu. "Zean yang ngasih ini ke gue."

Mulut Kanaya menganga. "Why?"

"Gue gak tahu." Sean hanya menggeleng. Ia tak mungkin jujur tentang isi surat itu dan permintaan Zean.

Kanaya akhirnya terdiam. Meski masih ingin bertanya, ia memilih diam.

"Lo senang bukan? Karena orangtua gue akhirnya di penjara?" tanya Sean tiba-tiba.

Kanaya malah berpikir. Jika berkata jujur, ia jadi terkesan tak menghargai perasaan Sean. "Biasa aja."

Sean tersenyum miring. "Itu bukan jawaban yang gue harapkan. Kenapa lo gak terus terang? Bahkan gue aja yang notabene-nya anak mereka, sangat bersyukur."

Kanaya mengangkat alis. "Kenapa?"

"Setiap orangtua pasti selalu mengajarkan hal positif sama anak mereka. Waktu kecil, saat gue berbuat salah gue diajarin untuk bertanggungjawab atas kesalahan gue. Dan ketika gue tahu orangtua gue berbuat salah tapi mereka gak bertanggungjawab, gue merasa marah. Gue merasa malu karena mereka gak melakukan hal yang pernah mereka ajarkan ke gue.." Sean menjeda sejenak. "Tapi setelah mereka bertanggungjawab dan mengakui kesalahan, gue akhirnya lega. Karena setidaknya, mereka tetap memberi contoh yang baik untuk gue dimasa depan."

Kanaya menoleh pada Sean dengan takjub. Tak menyangka kata-kata bijak itu akan keluar dari mulut Sean. Sebab Kanaya tahu, butuh hati yang lapang untuk menerimanya. "Sedikitnya, lo pasti terluka. Karena seburuk-buruknya mereka, lo tetap sayang kan?"

Sean menoleh. Tatapan mereka berdua beradu. "Lo.... benar."

Keduanya saling melempar senyum. Lalu berpaling lagi menatap air danau.

Silent Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang