Tujuh hari kemudian.
"Bunda kelihatan menyedihkan. Ya kan, Pah?"
Radith yang tengah memerhatikan Rinjani dari balik kaca jendela ruangan pun berbalik. Netranya langsung beradu dengan netra milik putranya.
Keduanya kini saling berhadapan dilorong rumah sakit yang sunyi itu.
Sean mengernyit. "Kenapa papa gak pernah mau masuk ke dalam?"
Radith terdiam sejenak. Sebelum akhirnya menjawab, "papa sibuk."
"Papa lebih terlihat pura-pura menyibukkan diri."
"Papa memang sibuk. Belum punya waktu senggang, Sean." Sekali lagi Radith memberi dalih.
Sean tersenyum kecut. "Di mata Sean, papa terlihat lagi menutupi sesuatu. Seperti perasaan bersalah?"
Radith terdiam.
"Terhitung cuma satu kali papa jenguk Zean dari dekat. Itupun waktu pertama kali Zean dinyatakan koma. Seterusnya, Papa cuma datang buat cari tahu perkembangan kondisi Zean dari dokter, lalu pergi lagi. Papa seolah gak berani ada didekat Zean. Kenapa, Pah?"
Untuk beberapa saat, Radith hanya diam setelah mendengar perkataan putranya yang tidak meleset. "Sudah papa katakan. Sekarang papa sudah jadi wali kota. Papa sangat sibuk."
"Lupain itu, Pah. Sean butuh kejujuran."
Radith mengernyit. "Apa yang mau kamu dengar dari Papa, Sean?" Ia balik bertanya.
Sean pun berdehem pelan. "Papa tau kan, saat ini Kanaya juga masih koma?"
Radith tidak menjawab.
"Sean heran. Kenapa ibunya Kanaya berpikir kalau Kanaya mengalami kecelakaan karena Zean?"
Lagi-lagi, Radith hanya bergeming mendapati pertanyaan seperti itu.
"Gak mungkin kan, kecelakaan yang Kanaya alami kemarin ulah Papa dan Bunda?"
"Jaga ucapanmu, Sean."
"Lalu kenapa Ibunya Kanaya nuduh Zean penyebab kecelakaan putrinya?" Suara Sean meninggi. Tatapannya berubah tajam. Ia tidak bisa tenang selama seminggu ini setelah memikirkan ucapan ibunya Kanaya.
"Bukannya papa yang menginzinkan Zean punya teman? Apa seorang wali kota suka mengingkari janji?"
"Kamu pikir papa selicik itu?" Dengan jantung bergemuruh, Radith balik bertanya. Ia balik menatap sengit kedua mata Sean.
"Kalau membunuh kakaknya bisa papa lakukan. Kenapa adiknya tidak?"
Radith mendesis. "Cukup. Kenapa kamu selalu nuduh Papa yang tidak-tidak?"
"Sean pikir, gak ada yang sekejam Papa dan Bunda." Sean tersenyum kecut lagi. Hatinya sangat sakit. Ia tidak puas akan jawaban Radith.
"Di dunia ini tidak ada orang yang suci," ucap Radith lurus.
"Ada satu lagi yang mau Sean tanyakan." Sean menjeda sejenak. "Siapa orang yang Papa telpon saat pertama kali tahu Zean kecelakaan bersama Kanaya?"
Mulut Radith terkunci rapat. Sean memerhatikan gerak gerik ayahnya yang mulai gelisah.
"Pak Bagas?"
"Bukan." Radith mengelak cepat.
"Jangan bohong. Apa perlu Sean buat pak Bagas ada disini dan nyuruh dia ceritain semuanya?"
Akhirnya, Radith kalah telak. Sean telah bertindak dibelakangnya tanpa ia tahu.
"Papa menelpon pak Bagas untuk memastikan. Lalu setelah itu, Papa mulai merasa bersalah. Dan sampai hari ini pun, Papa masih dilanda perasaan bersalah sampai gak berani menemui Zean."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?