"Zean tungguuu."
Zean yang hendak masuk ke dalam perpustakaan menghentikan langkah. Ia tatap Kanaya yang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan dua alis terangkat.
"Aku mau bicara."
Zean menimang. "Kita bicara nanti. Aku punya kepentingan lain."
"Sebentar aja. Di rooftop."
Zean menghela napas. Lalu menggeleng kepala. "Nanti aja. Seseorang udah nunggu aku di dalam."
Dengan wajah dingin Zean masuk ke dalam perpustakaan. Kanaya mengernyit penasaran. "Seseorang?"
Karena sangat kepo akhirnya Kanaya memutuskan mengikuti Zean secara diam-diam. Sangat hati-hati sambil sesekali bersembunyi di balik rak supaya tidak ketahuan.
Hingga akhirnya Kanaya menghentikan langkahnya saat melihat Zean menghampiri seorang gadis berkacamata yang sedang duduk sambil menekuni buku.
Gadis itu tampak tersenyum girang saat Zean duduk disebelahnya.
"Maureen?"
Benar. Kanaya tidak salah liat. Gadis berkacamata itu memang Maureen. Si gadis dingin dan pintar. Maureen selalu ditakdirkan satu kelas dengan Kanaya. Dan Kanaya tahu betul kalau Maureen tidak pernah tersenyum selebar itu pada siapapun, apalagi seorang lelaki.
Sejak kapan Maureen akrab dengan Zean?
Setelah Kanaya amati, tampaknya mereka akan belajar bersama. Mengisi waktu kosong di jam pelajaran kedua.
"Maaf ya, aku bosan kalau di kelas, Zean." Lagi-lagi, Maureen mengukir senyumnya yang kelewat genit, dimata Kanaya.
Zean menjawab, dengan isyaratnya. "Tidak apa. Aku bisa menemani kamu disini setiap hari kalau kamu mau."
Maureen membelalak. "Serius?"
Zean mengangguk. "Aku harus menempel pada gadis pintar supaya ketularan ya, kan?"
Maureen mencebik. "Ish aku gak sepintar itu kok. Saudara kamu jauh lebih pintar dalam hal apapun."
Mata Kanaya membulat. Ternyata Maureen mengerti bahasa isyarat. Itu benar-benar aneh.
"Karena itu kalian selalu bersaing?" tanya Zean.
Maureen mengangguk. Wajahnya berubah lesu. "Tapi aku tau akhirnya aku yang selalu kalah."
Melihat itu tangan Zean terangkat untuk mengusap puncak kepala Maureen. Lalu berkata, "Tidak apa. Aku ada dan selalu dukung kamu."
Untuk kedua kali, Mata Kanaya membulat. Apa barusan ia salah lihat?
Apa Zean benar-benar mengusap kepala Maureen dan berkata demikian?
"Terimakasih."
Kanaya bergeming. Tatapan dua remaja itu tampak berbeda. Seolah Kanaya dapat membaca, bahwa mereka sedang saling mengungkapkan isi hati lewat tatapan mata.
Seolah-olah mereka baru bertemu kembali setelah sekian lama.
Seolah-olah mereka tengah melepas rindu dari tatapannya.
Hati Kanaya tercabik. Ia benar-benar tak dapat berkata-kata.
Satu hal yang dapat Kanaya simpulnya.
Sepertinya Maureen lah yang Zean maksud sebagai oranglain itu.
Oranglain yang Zean sukai jauh sebelum Zean mengenal Kanaya.
Kanaya mendengus lantas angkat kaki dari sana sambil bergumam, "gue pikir itu cuma akal-akalan. Tapi ternyata, lo benar-benar menyukai oranglain, Ze. Oranglain yang lebih baik dari gue pastinya."
.
.
.
.
.
.Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?