Selama dua menit lamanya Rinjani hanya mematung ketika melihat para perawat membaringkan tubuh Zean ke atas brankar lalu menutup seluruh badan Zean dengan selimut berwarna putih hingga kepala.
Rinjani terus berpikir. Apa yang sedang perawat itu lakukan pada putranya yang jelas hanya tertidur.
"Waktu kematian pa--"
"Cukup!!" pekik Rinjani cepat. Memotong ucapan dokter Reza yang belum rampung. "Siapa yang mati?"
"Putra anda sudah menghebuskan napas terakhirnya, Bu Rinjani. Ja--"
"Zean cuma tidur! Bukan mati," sanggah Rinjani cepat. Ia menubruk bahu dokter Reza ketika melangkah menghampiri brankar.
"Dokter Reza salah besar. Zean sudah berjanji pada saya kalau dia gak akan ninggalin saya," ucap Rinjani yakin.
Tangan Rinjani bergerak menyingkirkan kain yang menutupi wajah Zean. "Ze, bangun Nak. Ayo kita pulang. Bunda gak suka kamu tidur kelamaan gini." Ia mengusap halus wajah Zean yang terasa dingin.
Disisi lain, putra Rinjani yang lain hanya mampu menyandarkan tubuh pada dinding sambil menatap brankar dengan tatapan hampa.
Siapapun bisa melihat, bahwa Sean sudah kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Tatapan itu tampak menyakitkan, Menyesakkan dada serta memilukan.
Sean kehabisan tenaga untuk menyadarkan Rinjani. Karena jelas, dirinya pun masih butuh disadarkan.
"Ada apa ini?"
Sean menoleh ke arah pintu. Di sana tampak pria parubaya berdiri dengan napas memburu setelah menerima panggilan dari rumah sakit tentang kondisi putranya.
Dokter Reza menghampiri Radith dan menepuk pundaknya sejenak. "Anda harus kuat, Pak. Tenangkan istri anda dahulu. Saya kembali lagi nanti." Dokter Reza serta dua perawat berlalu dari ruangan itu.
Derap langkah Radith tertuju ke arah Rinjani yang sedang bicara pada jasad Zean. "Rinjani," panggilan pelan.
Rinjani menoleh. "Mas." Ia langsung berhambur ke pelukan Radith. "Akhirnya kamu datang."
"Zean pergi hari ini?"
Rinjani menggeleng. "Nggak. Zean cuma tidur."
Radith menutup matanya sejenak. Lantas kembali membukanya perlahan. Ia menahan segala sesak ketika memandang wajah Zean dengan bibir pucatnya yang tak lagi berwarna.
"Kenapa Zean pergi sebelum aku mengucapkan permintaan maafku?"
Penyesalan yang tak lagi sanggup Radith ucapkan dengan kata, akhirnya terjun melalui pipi dalam diam tanpa isak suara.
"Mas, apa Zean benar-benar pergi?" Masih dalam pelukan Radith, Rinjani bertanya demikian.
"Aku harap tidak. Tapi dia benar-benar meninggalkan kita, Rinjani."
Kening Rinjani mengernyit dalam. Tangis yang sejak tadi tak pernah terdengar akhirnya keluar begitu keras.
Akhirnya, Rinjani sadar.
Ia meraung dalam dekapan Radith, suaminya.
Mengeluarkan segala sesak didada. Menerima kepahitan yang tersaji didepan mata.
Dengan goyah Rinjani memaksakan diri untuk ikhlas. Melepas diri dari angan-angan dalam hatinya bahwa putranya hanya tertidur. Mencoba tabah untuk menelan kenyataan hidup. Meski masih dalam penyesalan yang tersimpan di dada. Tapi sekali saja, Rinjani harus berusaha ikhlas.
Perlahan ia mundur dalam pelukan Radith lalu beralih memeluk tubuh Zean yang terbaring.
Kali ini, Rinjani hanya menangisinya. Tanpa berteriak meminta Zean untuk bangun.
Tapi sungguh, tangisan Rinjani terdengar menyayat hati lebih dari apapun.
"Kamu bilang mau nunggu Papa datang lagi ke sini, Ze. Tapi kenapa kamu malah pergi?" Tangan gemetar Radith menyentuh wajah putih Zean. Mengusapnya perlahan. "Papa belum sempat minta maap sama kamu. Papa belum sempat bilang apa-apa."
"Papa harus apa agar rasa penyesalan di hati papa berkurang ke kamu, Ze?" Di tatap lebih lama, malah semakin membuat hatinya sakit. Radith jelas masih ingat semua ekspresi kesakitan Zean ketika terkena lemparan gelas kaca ditangannya. Ketika wajah itu ia tampar dan tinju berulang kali.
Setiap hari. Tanpa perlawanan.
"Maafkan papa, Ze. Tolong maafkan papa." Sekali lagi Radith melirih, berharap mendapat jawaban, meski ia tahu putranya tak akan membuka matanya lagi.
Rinjani memejamkan mata setelah membaringkan kepalanya di atas dada Zean. Berharap telinganya bisa mendengar kembali suara detak jantung di dalam sana. "Maafkan bunda, Zean. Andai Bunda tahu suara detak jantung kamu seberharga ini. Bunda pasti akan bahagiakan kamu setiap hari," lirihnya pilu.
"Kalian terlambat."
Sean akhirnya bangun dari tempat, menghampiri kedua orangtuanya dengan kilatan amarah di mata.
Lama-lama Sean merasa muak mendengar raungan dan rintihan mereka. Karena diperhatikan lebih lama, Sean semakin sadar. Sean kembali teringat alasan Zean mengalami kecelakaan.
Ya. Jelas. Ini perbuatan orangtuanya.
"Berenti nangisin kepergian Zean. Karena dari sejak dulu, Zean cuma saudara kembar Sean. Bukan putra kalian."
Deg.
Radith terdiam.
Namun Rinjani tertegun hebat.
"Apa perlu Sean ingatkan? Kalau Zean kecelakaan karena ulah kalian. Lalu untuk apa kalian nangisin Zean?"
Radith menggeleng. "Ini bukan keinginan kami."
"LALU KENAPA?!" Sean memekik. "Kenapa kalian harus nyingkirin Kanaya?!"
Hening.
"Kalau aja Papa gak berniat mencelakai Kanaya, Zean pasti bakal baik-baik aja. Dia gak akan pernah koma. Dia pasti masih ada sama kita. Dia pasti gak akan ninggalin Sean sendirian." Air mata Sean terus berjatuhan, ketika ia berbicara.
"Sean gak bisa hidup tanpa Zean. Tapi kenapa kalian gak ngerti?!"
Radith menunduk dalam. "Maafkan Papa."
"Harusnya Sean aja yang ada di mobil Kanaya waktu itu."
Deg.
Rinjani semakin membeku. Hingga seluruh tubuhnya terasa kaku. "Ma-maksud kamu apa, Sean?"
Sean menatap Rinjani jengah. "Sean minta Bunda gak perlu nangisin Zean lagi. Karena bunda gak pantas. Bunda gak layak menerima maaf dari Zean sekalipun Zean masih ada. Bukannya Bunda pernah bilang, kalau Bunda gak peduli Zean masih hidup atau mati?"
"MAKSUD KAMU APA?!" Rinjani butuh penjelasan.
"Udah saatnya Bunda tahu, kalau Zean kecelakaan karena ulah Bunda. Karena rencana gila Bunda yang mau menghilangkan nyawa seorang gadis, tapi malah nyawa anak Bunda sendiri yang hilang." Sean terkekeh pedih. "Demi jadi istri wali kota. Tangan Bunda dalam sekejap jadi kotor."
Rinjani mengernyit. "Jadi Zean kecelakaan bersama Kanaya?"
Radith segera memeluk tubuh Rinjani yang kehilangan keseimbangan. "Kuatkan diri kamu."
"Mas.... Ja-jadi ini salahku?"
Belum sempat Radith bersuara, tubuh Rinjani sudah melorot jatuh ke lantai karena tak sadarkan diri.
Lalu tak berapa setelah itu, seorang gadis masuk ke dalam ruangan.
.
.
.
.
.Nexttt?
Besok up lagi, kalau antusias kalian muncul di komentar ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?