4 hari menjelang pemilu.
"Voting suara semakin naik. Dan pak Radith selalu menduduki posisi pertama. Saya sangat yakin kalau bapak akan menang," ucap seorang reporter muda yang baru saja selesai melakukan wawancara dengan Radith di rumahnya.
Radith tersenyum tipis. "Saya hanya berusaha. Selanjutnya saya serahkan pada masyarakat."
"Sejauh ini, pak Radith adalah orang paling dipercaya oleh masyarakat. Karena bapak selalu melakukan aksi nyata," ujar sang reporter perempuan.
"Masyarakat memang butuh aksi. Bukan kata-kata. Saya hanya ingin menunjukan betapa saya sangat mencintai beragam manusia tanpa melihat bagaimana mereka berpikir tentang saya. Saya hanya ingin menjadi pelindung bagi yang membutuhkan."
Mendengar ucapan Radith, sang reporter jadi semakin terpukau. "Anda benar-benar tulus, Pak."
"Mas. Wawancaranya sudah selesai?" tanya Rinjani yang barusaja datang setelah pergi ke toilet.
"Ya. Barusaja selesai."
Reporter yang melihat kedatangan Rinjani langsung berdiri dan sedikit membungkuk. "Terimakasih atas waktu yang pak Radith dan Bu Radith luangkan. Kalau begitu, saya dan kru pamit pergi."
Radith mengangguk. "Ya. Silahkan."
Rinjani duduk di samping Radith begitu reporter dan para kru yang meliput pergi dari rumah mereka.
Radith kembali menatap Rinjani. "Ada apa?"
Rinjani menyerahkan ponsel Radith yang sedari tadi ia genggam. "Pak Cakra menelpon. Sudah dua kali."
Radith tersenyum. "Dia pasti ingin mengajakku makan malam bersama karena tau aku akan jadi wali kota."
Jari tangan Radith mendial nomor Cakra lalu mendekatkan ponsel ke telinga begitu panggilan sudah tersambung.
"Ada apa Pak Cakra? Anda pasti ingin mengajak saya makan malam bersama hari ini," ucap Radith dengan percaya diri.
"Gadis SMA itu datang lagi ke kantor polisi."
Raut wajah Radith yang awalnya ceria berubah menjadi masam. Ia tampak menggengam ponselnya dengan kuat.
"Anak itu terus merengek agar anda dan istri anda segera di tangkap. Dia bilang dia memiliki saksi mata dan bukti yang kuat. Tadi kantor polisi benar-benar di buat kewalahan oleh gadis itu. Jadi terpaksa, anak buah saya langsung mengiyakan permintaannya."
Radith mendengus pelan.
"Kemungkinan besar hal ini bisa mempengaruhi voting suara anda jika bocor."
"Anda akan membocorkannya ke publik? Bahkan sebelum saya mengatakan bahwa saya dan istri saya tidak melakukan apa-apa."
Di sebrang, Cakra langsung terkekeh. "Maksud saya--"
"Silahkan halangi jalan saya. Anda pikir saya akan diam ketika nama baik saya di jatuhkan oleh gadis SMA? Tidak, pak Cakra. Saya tutup telponnya."
Tut.
"Bajingan!"
Rinjani berjengit kaget mendengar pekikan Radith. Pria itu tampak marah. Sangat marah.
"Gadis itu melapor lagi, Mas?"
Haciw!
Suara bersin yang khas itu mengalihkan atensi Radith dan Rinjani.
Zean. Mereka sangat hafal suara bersin itu. Makanya mereka langsung terdiam begitu mendengarnya.
Zean berjalan melewati ruang tamu sambil mengusap hidungnya yang sedikit gatal. Ia hanya berjalan sambil melirik kedua orangtuanya sesekali.
"Mas. Apa gadis itu melapor lagi?"
Rinjani kembali bertanya kala merasa Zean sudah naik ke lantai dua.
"Dia pengacau. Lebih baik segera aku bereskan," ucap Radith geram. Ia pun segera menelpon orang kepercayaannya.
"Hallo, Tuan."
"Tugas disana sudah selesai?" tanya Radith.
"Sudah. Aku akan pulang besok, Tuan."
"Percepat kepulanganmu. Kamu harus membereskan tikus kecil disini. Sebelum pemilu diselenggarakan, kamu harus sudah menanganinya."
"Baik, Tuan."
Setelah panggilan di putuskan. Radith menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa seraya mengbuang napas panjang lewat mulut. "Aku benci tikus kecil."
"Gadis itu gak tau siapa yang dia hadapi," sahut Rinjani seraya menyandarkan kepalanya di atas dada suaminya, kemudian tersenyum miring. "Aku harus jadi istri wali kota, Mas."
Radith tersenyum. "Iya sayang. Aku akan jadi wali kota secepatnya."
.
.
.
.
.
.
......
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?