Aku mengcut-off 046 dibagian akhir. Tapi gak merubah alur bagian ini. Yaap selamat membaca ♡
.
.
.
.
.Satu minggu kemudian.
Suara jarum jam masih setia mengisi kekosongan di kamar wanita itu. Wanita yang selalu menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Pagi, siang hingga malam hanya melamun yang ia lakukan. Sesekali di tengah lamunan air matanya juga tiba-tiba terjun.
Karena ia selalu ingat bagian menyakitkan yang telah ia lihat dalam hidupnya. Hari yang paling menyakitkan bagi Rinjani.
Hari dimana Zean dikebumikan.
Hari itu Rinjani jatuh pingsan berkali-kali. Berteriak agar tubuh Zean tidak dimasukan ke liang lahat.
Semua orang menyaksikannya. Hari dimana Rinjani menggila.
"Zean juga tidak pernah meminta dilahirkan di rahim Bunda atau jadi anaknya papa. Kalian yang membuat Zean hadir. Lalu kalian juga yang mengutuk Zean agar tidak hadir. Kenapa?"
Kata-kata itu terus mengisi kepala Rinjani pagi ini. Ia ingat dengan jelas, tatapan terluka Zean ketika mengutarakan hal itu. Namun dirinya dengan tak iba memakinya tanpa henti.
"Zean.... Putrakuu...."
Rinjani terisak lagi. Seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan menangis hingga matanya bengkak.
Ceklek.
Suara pintu yang terbuka bahkan tak menghentikan tangis Rinjani. Hingga terasa tangan kekar mendekap tubuhnya yang meringkuk.
"Rinjani. Jangan menangis lagi. Kamu harus belajar ikhlas." Disaat semua orang saling mengunci diri di kamar, Radith adalah orang yang paling hebat berpura-pura kuat. Setiap hari Radith selalu berusaha menegarkan istri dan anaknya. Ia mencoba untuk tidak menangis lagi. Agar Rinjani bisa bangun dari keterpukurukannya. Dan Sean segera memaafkan kesalahannya.
"Rinjani dengarkan aku." Radith menangkup wajah Rinjani yang sembab air mata. "Aku tau ini berat. Tapi kamu harus belajar ikhlas. Kita harus melanjutkan hidup. Jangan siksa dirimu sendiri seperti ini."
"Mas.... aku takut. Aku takut untuk hidup." Rinjani terisak.
"Mas akan melindungi kamu." Radith berusaha tersenyum tegar. "Perut kamu harus diisi walaupun sedikit. Ayo kita sarapan. Atau Mas ambilan sarapan kamu kemari?"
Rinjani menggeleng. "Nggak. Aku mau Zean kembali lagi ke rumah ini, Mas."
Radith tertegun. Hatinya sangat remuk melihat tatapan penuh harap itu. "Dia sudah pergi. Tapi kenangannya masih tetap ada disini."
"Apa aku pernah membuat kenangan bahagia bersama Zean?" tanya Rinjani dengan alis menukik.
Radith bergeming. Memalingkan wajah.
"Aku hanya membuat kenangan pahit untuk diriku sendiri. Karena aku hanya membuatnya terluka. Aku bahkan gak ingat bagaimana ekspresi bahagia Zean." Rinjani menutupi wajah, semakin menangis tersedu-sedu.
"Kamu pernah bilang, kalau Zean sudah memaafkan kamu bukan? Sebelum pergi, dia sudah memaafkan kita. Itu yang kamu katakan kemarin."
Radith terkejut saat tahu Zean menyampaikan pesan bahwa dirinya sudah memaafkan kesalahan kedua orangtuanya.
Dihembusan napas terakhirnya, Zean bahkan tak ingin membiarkan Radith dan Rinjani hidup dengan penyesalan dalam karena tak dimaafkan.
Kini Radith dengan lantang berkata. Zean adalah putranya yang sempurna.
Rinjani mengerjap. Ia teringat sesuatu. "Buku harian."
Tiba-tiba Rinjani berdiri. Lalu berjalan keluar dari kamarnya dengan tergesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?