"Mas, ponsel kamu berdering itu. Coba diangkat dulu," ucap Rinjani pada suaminya yang tengah sibuk berkutat pada laptop.
Radith menghela napas, lantas meraih benda pipih disamping laptop. Menerima panggilan yang ternyata dari kepolisian. Radith sedikit mengerut alisnya sebelum mendekatkan ponsel ke telinga.
"Hallo pak. Selamat pagi."
"Ya, Ada apa?"
"Maaf kalau saya menganggu waktu anda pagi-pagi, Pak. Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan."
"Silahkan."
"Kemarin kantor saya menerima laporan dari gadis remaja. Lebih tepatnya gadis SMA. Dia meracau dan menyebut anda dan istri anda sudah mencelakai kakaknya. Saya tahu, itu berita yang tidak benar. Saya hanya ingin memastikan saja."
Mata Radit membulat setelah mendengar hal itu.
Rinjani mengangkat alisnya dengan bibir bertanya, "Ada apa?"
"Ahaha." Radith terkekeh ringan. "Ada ada saja. Pak Cakra tau kan sebentar lagi saya akan terjun kedunia politik. Jadi beberapa orang sudah panik hingga mencoba menjatuhkan nama saya. Mereka sampai menggunakan anak SMA. Sangat memalukan."
Disebrang, Cakra juga tertawa. "Hahaha. Ya, pak. Maaf atas ketinyadaknyamanan ini. Seharusnya saya gak perlu bertanya dan merisaukan anda."
"Tidak apa. Ini bisa saja terjadi."
"Kalau begitu saya tutup telponnya. Sekali lagi saya minta maaf. Anda tidak perlu khawatir lagi, pak."
"Ya."
Tut.
"ARGHH!!"
Brak!!
Ponsel pecah setelah di banting ke dinding. Radith berdiri kasar dan mengepal kedua tangannya di atas meja kerja. "SIALAN!"
"Kenapa, mas? Siapa yang menelpon?"
"Pak Cakra."
Rinjani membelalak.
"Kanaya! Gadis sialan itu sudah berani melapor!" Radith memegangi kedua pundak Rinjani yang tampak terkejut. "Seandainya malam itu kamu tidak panik Rinjani! Mungkin gadis itu tidak akan mendengar percakapan kita tentang Raya!"
Rinjani merngenyit. "Kamu nyalahin aku mas?"
"Aku bukan menyalahkan tapi---sudahlah!" Satu tangan Radith naik memijat pangkal hidungnya. "Harus aku apakan dia agar diam?"
"Bukannya kita udah menghilangkan semua bukti mas. Kenapa kamu kelihatan cemas?"
Radith mendengus. "Aku merasa gadis itu lebih mengancam daripada Raya."
Rinjani terdiam. Mencoba memikirkan solusi.
"Mas. Kita gak seharusnya panik karena gadis ingusan kayak dia bukan? Dia gak mungkin bisa masukin kita ke penjara. Apalagi tanpa barang bukti yang jelas."
Radith menatap Rinjani, tak lama mengangguk. "Kamu benar. Tapi jika dia berani bertindak melampaui batas lagi, aku pastikan dia bisa bernasib seperti kakaknya."
Di balik tembok, seorang lelaki dengan pakaian seragam sekolah SMA mematung. Ia tercekat dengan napas tertahan begitu mendengar apa yang barusaja ayahnya katakan.
Soal Kanaya.
Zean Mahesyaka---telah mengepal kuat kedua tangannya dengan jantung bergemuruh.
Dimulai dari laporan.
Dan ancaman dari mulut Radith.
Ia mendengar semuanya.
Semuanya, semua hal mengerikan yang belum pernah Zean kenal dari sosok Radith dan Rinjani.
.....
Begitu tiba di sekolah, Zean memutuskan pergi ke rooftop untuk menenangkan hati dan pikirannya yang masih keruh.
Zean sangat kecewa. Bingung dan sedih.
Semua hal menjadi rumit.
Tapi inilah hidup yang selalu Zean arungi.
Kanaya telah menyelam jauh, terombang-ambing oleh ombak kehidupan yang Zean bawa.
Dulu Zean pernah mengatakan hal itu.
Tapi Kanaya tetap menerobos masuk. Menerjang pertahanan Zean.
Di bawah terik mentari yang barusaja naik, Zean menatap seorang gadis berbadan mungil yang berjalan di tengah lapang seorang diri.
Zean tersenyum saat melihat gadis itu memukuli tiang bendera yang sudah ia tabrak.
Kanaya.
Dengan seribu keanehannya.
Zean segera merogoh ponselnya dan mengetikan pesan singkat pada Kanaya.
Temui aku di rooftop.
Di bawah tampak Kanaya sudah membaca pesan yang Zean kirim.
Kanaya mendongak. Gadis itu tersenyum lebar saat melihat Zean berdiri di atas sana, menatap padanya.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?