Seira Cepu.
Ra, tolong bantuan gue sekali ini aja. Kalo nyokap gue nanyain gue ke lo, lo jawab gue ada di rumah lo ya. Kirim pict gue yang lagi ileran itu gapapa. Pliss bantuin gue.
Terus?
Kanaya mendengus.
Gue beliin lo tiket konser.
Sip ayang.
Kanaya menghela napas lega lalu kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. "Aku mau nemenin kamu disini. Sampai pulih."Zean melirik Kanaya di sampingnya. Malam sudah sangat larut, dan gadis itu bahkan masih menggunakan gaun berwarna birunya.
"Ehh stop."
Tangan Kanaya begitu cepat. Zean yang berusaha untuk duduk pun harus kembali berbaring akibat dorongan tangan gadis itu.
"Jangan banyak bergerak. Kamu harus istirahat."
Zean menghela napas pasrah.
"Kamu harus pulang. Orangtua kamu pasti khawatir."
"No, no, no." Kanaya menggeleng sebanyak tiga kali. "Aku bilang aku bakal merawat kamu sampai keadaan kamu pulih. Jangan khawatir soal orangtua aku. Aku udah bilang ke mereka kalau aku nginap di rumah temen. Mereka gak akan khawatir."
Zean kembali menghela napasnya. Ia berniat melepas alat yang menutupi pernapasannya namun lagi-lagi, Kanaya mencegahnya.
"Jangan dilepas. Bahaya."
Zean tak mengubris. Ia tetap memaksa melepas alat tersebut karena ia merasa terganggu.
"Zean. Aku panggil dokter!"
Kanaya panik. Gadis itu berniat menekan tombol di sebrang brankar namun tangan Zean lebih dulu menghentikkan pergerakan tangannya.
Kanaya menunduk menatap Zean kesal.
"Jangan keras kepala," ucap Zean dengan gerakan tangannya.
Kanaya terdiam, sebelum akhirnya kembali duduk ke posisi semula.
"Keras kepala mana ama kamu," gumamnya amat pelan.
Zean hanya menghela napasnya, lagi dan lagi. Ia jelas bisa mendengar gumaman itu.
Kanaya kembali menatap Zean. "Kenapa kamu terus hela napas?"
Zean tak menjawab.
"Kamu marah karena aku jujur ke Sean?"
Zean terdiam.
"Maaf, Ze. Tapi tadi Sean kayak mau bakar aku dengan tatapan matanya. Jadi aku ceritain semua. Maaf."
Lagi-lagi ucapan Kanaya tak direspon.
"Aku tau. Kamu pasti berpikir aku ini sangat buruk. Tapi gakpapa kok," Kanaya menggantung ucapannya. Lalu tersenyum kecut. "Karena nyatanya aku emang seburuk itu. Aku selalu berucap sesuka hati dan gak peduli seberapa menyakitkannya ucapan itu."
"Aku cuma, mikirin rasa sakit aku sendiri."
Semua perkataan kasar dan tuduhan yang ia lontarkan, teriakan yang hanya memuaskan nafsunya sesaat itu telah menggores luka di hati Zean. Namun Kanaya dengan bodohnya terus mengoceh, berteriak bahwa ia sangat terluka. Memberitahu bahwa dirinya dan kakaknya adalah korban. Menyalahkan seorang lelaki yang bahkan tak tahu menahu soal kejadian itu.
Kanaya menyesal. Sangat.
"Seharusnya, saat aku maki-maki kamu, kamu tampar wajah aku."
"Supaya aku sadar. Seharusnya kamu bilang kalau kamu gak tau soal kejadian itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?