Kanaya berlari cepat ke arah seorang lelaki berpostur tinggi yang sedang berdiri menghadap danau kecil itu.
Begitu tiba di hadapan lelaki itu, Kanaya langsung mengernyit setelah melihat penampilannya yang begitu tertutup.
Lelaki itu menggunakan kacamata hitam, masker, serta kupluk hoodie hingga tak ada apapun dari bagian lain wajahnya yang terlihat oleh Kanaya selain, jidat.
"Kenapa penampilan kamu begini, Ze?" Apa gak gerah?" tanya Kanaya heran.
Zean pun menggerakan tangannya. "Ini supaya gak ada yang ngenalin aku sebagai Sean lagi."
Kanaya terdiam sejenak setelah mengerti apa maksud Zean. "Tapi disini cuma ada kita berdua." Kanaya mengedar pandangannya. Dan memang di taman itu sepi pengunjung, karena cuaca sedang sangat mendung.
"Iya tapi ini tetap tempat umum," elak Zean.
"Kamu lagi nutupin sesuatu ya?" tanya Kanaya curiga.
Zean menggeleng cepat.
"Ish!" Karena Kanaya sangat penasaran, akhirnya dengan gerakan cepat ia menarik paksa kacamata lelaki itu kemudian maskernya.
Deg.
Mata Kanaya membulat saat melihat lebam-lebam di wajah lelaki tampan itu. "Kamu bohong," lirihnya.
Zean langsung menundukan wajahnya. Ia memang hanya beralibi tadi. Karena sebenarnya ia hanya ingin menutupi luka-luka di wajahnya.
"Ini gara-gara aku. Aku minta maaf."
Tubuh Zean membeku saat tiba-tiba saja tangan Kanaya menyentuh pipi kanannya. Mengusap luka lebamnya didekat bibir. Tatapan Zean naik, menatap sepasang mata Kanaya yang sudah tergenang oleh air.
"Apa memang menjauh jalan terbaik untuk kita?" tanya Kanaya dengan suara parau.
Zean menggeleng cepat. Lalu meraih tangan kanan Kanaya yang hendak turun kembali. Dan sekali lagi, Zean menggeleng kepalanya. Menatap Kanaya dengan penuh permohonan.
"Seharusnya aku dengarkan perintah Sean. Kenapa aku segois ini?" lirih gadis itu.
Bahkan belum seminggu setelah berjanji pada Sean, Kanaya sudah mengingkari ucapannya dengan bertemu Zean kembali di taman ini.
"Aku gak mau jadi manusia egois. Aku gak mau kamu terluka, Zean. Tapi aku gak bisa menjauh dari kamu.... Kenapa aku egois?"
"jangan khawatir. Aku bisa bertahan sejauh apapun, selama kamu gak pergi. Jadi aku mohon jangan tinggalkan aku ya?" Zean menatap Kanaya dengan senyuman yang lebar.
"Tapi kamu terluka. Kamu disakitin setiap hari oleh para manusia gak punya hati itu!!" hardik Kanaya kesal. "Kamu diperlakukan seolah-olah kamu bukan darah daging mereka! Dimana hati nurani mereka sebagai seorang orangtua?!"
"Tenang." Zean mengintrupsi Kanaya agar mengikutinya untuk mengatur nafas. Dan dengan polosnya Kanaya mengikuti arahan tangan Zean. Dalam beberapa menit, keduanya tampak lucu saat sama-sama menggerakan tangan naik dan turun.
Huff.... fyuh.....
Zean tersenyum gemas karena Kanaya masih terus mengatur nafasnya saat dirinya sudah berhenti. Lucu.
Kanaya mengernyit. "Tadi sampai mana aku bicara?" tanyanya seperti orang linglung.
Pertanyaan itu sukses membuat Zean memalingkan wajah untuk menahan tawa.
"Kamu ketawa? Kamu ngetawain aku hah? Emangnya ada yang lucu!" Kanaya memekik lagi. Hal itu membuat Zean berdecak tak suka.
"Turunkan nada suara kamu. Ikan di danau ini pada sembunyi karena ketakutan sama suara kamu tau?"
Kanaya mengernyit. "Oh ya? Kamu tau darimana kalau mereka lagi sembunyi? Emang kamu Aquaman?" tanyanya dongkol.
Zean mengangguk cepat. Ia hendak menggerakkan tangannya kembali namun urung kala hujan tiba-tiba saja turun begitu deras.
"November udah musim hujan ya Ze--ehh!!" Belum rampung Kanaya bertanya, tangannya sudah lebih dulu di tarik Zean untuk berlari mencari tempat berteduh.
"Kenapa lari Ze? Kamu takut berubah jadi mermaid?"
Zean hanya tersenyum mendengar pertanyaan konyol gadis itu. Keduanya terus berlari hingga tiba di sebuah bangku duduk yang memiliki atap yang cukup lebar.
Kanaya langsung duduk dan berusaha mengatur nafasnya yang sedikit tersenggal. Begitu pun Zean.
Zean melirik gadis disampingnya sejenak, sebelum akhirnya ia melepaskan hoodie berwarna birunya kemudian disodorkan pada Kanaya.
"Apa?" tanya Kanaya bingung.
Zean menggerakan bibirnya pelan. "Pakai."
"Apa?" Kanaya tidak paham.
"Pakai."
"Hah?"
Zean menghela nafas lelah. Dengan cepat dia mendekatkan wajahnya pada wajah Kanaya lalu berujar. "Pakai."
Kedua mata Kanaya menjuling. Ia membeku dan napas tertahan.
Zean kembali memundurkan wajahnya lalu menyentil hidung gadis itu. Kanaya spontan mengerjap matanya.
Zean menggerakkan tangannya. "Cepet pakai baju itu."
Kanaya menunduk menatap hoodie milik Zean dipangkuannya. "Baik Tuan," ujarnya sebelum menggunakan hoodie itu.
Kurang dari sepuluh detik, kini tubuh Kanaya sudah dibalut hoodie milik Zean yang kebesaran.
"Terimakasih," ucap Kanaya dan Zean hanya mengangguk. "Tapi kamu gak dingin?"
Zean hanya menggeleng.
Setelah itu, keduanya kini hanya saling diam dengan pandangan lurus menatap dedaunan dan ranting yang basah di sekitar mereka. Menikmati suara rintik hujan yang cukup lebat.
Kedua kaki Kanaya yang bergelantung mulai bergelayunan ke kiri dan kanan karena rasa bosan dan juga kantuk yang datang bersamaan. "Musim hujan selalu ngingetin aku sama kakak aku."
Zean mengangkat alisnya, sedikit penasaran. Kanaya melanjutkan.
"Kakak aku adalah orang yang sangat dewasa, kecuali saat liat hujan. Setiap kali hujan dia selalu main sendirian di halaman belakang kayak anak kecil. Tapi kalau aku mau ikutan main hujan sama kakak, kakak langsung marahin aku dan bilang nanti aku bakalan sakit."
Zean menggerakan tangannya. "Siapa nama kakak kamu?"
"Namanya?" tanya Kanaya. Zean mengangguk. "Namanya Renata Raya Syahira. Aku sering sebut dia kak Rara."
Zean terdiam. Cukup lama sampai Kanaya merasa bingung. Apalagi ia lihat wajah Zean tampak menegang.
"Kenapa? Kamu kenal kakak aku?"
Zean mengeluarkan ponselnya dan membuka halaman galeri, lalu menunjukkan satu foto seorang perempuan pada Kanaya.
Mata Kanaya sedikit membulat. "Ini kan kak Rara. Kenapa kamu bisa punya fotonya?"
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love (END)
Teen FictionSebelumnya, aku ingin dikenal ketika mereka belum tau aku bisu. Tapi mereka menjauh saat tau aku bisu. Kenapa kamu gak begitu, Kanaya?