"Harapan kami, selepas kalian lulus dari pondok ini, kalian semua bisa menerapkan nilai nilai Quran yang sudah kalian pelajari sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan agama kita ini. Tapi mohon perhatikan, Quran itu bisa sekedar sampai tenggorokan saja jika tidak ada akhlak yang baik dan keimanan yang kuat. Lama kelamaan ia akan terangkat, lalu tanpa kalian sadari, ketika ia tidak lagi kalian jaga, ia akan menghilang.. maka genggamlah dengan erat. Jaga dia. Jaga hingga kita bertemu dengan maut yang sudah Allah janjikan.." papar salah satu ustadz pada acara kelulusan pondok pesantren itu.
Marhan bersama para lulusan lainnya duduk menyimak. Beberapa diantara mereka menangis haru ketika mengingat lagi momen momen kebersamaan di pondok.
Setelahnya, Marhan maju sebagai perwakilan santri angkatan itu. Ia diminta berbicara, menyampaikan kesan dan pesan serta kenangan selama menjadi santri di pondok pesantren ini selama tiga tahun. Dengan pidato yang bersemangat dan diksi bicara yang baik, siapapun tau Marhan pantas menyandang gelar lulusan terbaik dan berprestasi.
Usai serangkaian acara wisuda, secara simbolis, mereka semua dinyatakan lulus dari pondok pesantren itu. Para orang tua yang sudah menunggu anak anak mereka di barisan kursi belakang lantas berdiri, menunggu dihampiri para santri yang mulai berlarian ke belakang untuk mencium tangan dan berpelukan dengan orang tuanya masing - masing.
Marhan hanya bisa melihat adegan itu sambil menguatkan hatinya. Ia adalah yatim piatu dan bahkan tidak mengetahui siapa orang tuanya. Ia tumbuh besar di panti asuhan di Pulau Jawa, dan saat itu perwakilan pantinya tidak bisa datang karena jarak pesantren yang berbeda pulau.
Air mata Marhan menggenang melihat bagaimana santri lain saling berpelukan dengan orang tua dan keluarganya masing masing. Marhan hanya memandangi selempang lulusan terbaik yang melingkar di bahunya dengan senyum getir. Untuk siapa dia bisa persembahkan prestasi ini? Pikirnya dalam hati.
Sebuah tepukan lembut menyentuh punggung Marhan. Aroma parfum oud segar seketika tercium. Tanpa berpaling, ia sudah tau siapa yang ada di belakangnya saat ini.
"selamat atas kelulusannya Marhan. Nanti sempat sempatkan kesini kalau libur kuliah ya" suara teduh Ustadz Syahroni menyapanya.
Marhan berbalik dan mendapati salah satu pengajar paling dekat dengannya itu sudah berdiri di belakangnya.
"iya ustadz, InsyaAllah.."
Ustadz Syahroni tersenyum bangga.
"saya berharap lebih sama kamu Han. Kamu punya potensi besar dan Allah takdirkan kamu punya kelebihan disini. Tapi ingat pesan apa yang sering saya ulang ulang?"
"penyakitnya ilmu itu kesombongan, dan penyakitnya ibadah itu riya.." jawab Marhan dengan lancar. Itu adalah kalimat penutup kelas yang selalu disebutkan Ustadz Syahroni.
"na'am (benar), semoga itu tidak sekedar diucap dan diingat, tapi kamu dan semua teman temanmu bisa pegang itu" ujar Ustadz.
"InsyaAllah Ustadz, terima kasih atas ilmunya selama ini.. semoga dibalas Allah" Marhan memeluk Ustadz Syahroni dengan erat. Ia adalah ustadz yang berhasil mengolah Marhan menjadi lebih baik lagi selama menjadi santri. Lebih jauh lagi, berkat ustadz Syahroni juga Marhan dapat melanjutkan kuliahnya ke Timur Tengah secara gratis.
"Saya keliling dulu ke yang lain ya" Ustadz Syahroni pergi meninggalkan Marhan yang hanya mengangguk dan kembali merasa sendirian ditengah tengah keramaian kelulusan santri itu.
"manga manuang tu hah?" (ngapain bengong gitu??) tiba tiba Niko merangkulnya dari belakang.
Marhan yang tidak siap hampir saja terjatuh ke depan.
"eh Nik, engga" elaknya.
"udah salim sama ibu ayah saya belum? Tuh ditungguin" ujar Niko.
Marhan melihat kearah yang Niko tunjuk, disana berdiri ibu dan ayah Niko yang sedang tersenyum lebar sambil melambai lambaikan tangannya kepada Marhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAU
HorrorKisah dari sebuah Surau yang menjadi lokasi seseorang mengakhiri hidupnya sendiri di Sumatera Barat. Marhan dan Niko, ditugaskan meramaikan kembali Surau ini setelah kosong dan dicap terkutuk oleh warga setempat selama bertahun tahun..