Masih pada hari yang sama meninggalnya Nenek Umi, setelah sholat isya, pintu Surau diketuk oleh seseorang. Marhan dan Niko yang saat itu di dalam kamar bergegas keluar dan membukakan pintu itu. Diluar, Pak Datuak dan Salma yang baru saja pulang sudah menanti dibukakan pintu.
"assalamualaikum" panggil Datuk.
"waalaikumsalam" jawab Marhan sambil membukakan pintu.
"wah maaf ganggu, udah pada tidur ya?"
"belum kok pak. Tadi masih ngobrol di dalam"
Datuak dan Salma masuk ke dalam surau sambil menyerahkan sebungkus makanan pada Marhan.
"Oleh oleh" ujar Datuak sambil menyerahkan plastik hitam itu yang diterima Marhan.
"Itu tadi bapak lihat ada bendera hitam, siapa yang meninggal?"
"nenek nenek yang waktu itu gendong Reza pak.. ibunya Pak Darwis" jawab Marhan.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. nek Umi ya.. memang orangnya sudah tua itu" jawab Datuak.
Marhan mengangguk. Namun Niko sudah memasang ancang ancang berbicara.
"Tapi pak.. sebelum meninggal, nenek itu memaki maki kami.. sama seperti waktu kemarin Pak Darwis lakukan.. lalu tiba tiba dia muntah darah dan meninggal" jelas Niko.
"itu ujiannya memang nak Niko.. kita tau bagaimana kolotnya orang tua.. Apalagi yang sudah sepuh begitu. Kebetulan saja ajalnya bertepatan setelah memaki kalian. Tapi bapak ingatkan, kalian harus sabar dan maafkan nenek itu, dan juga pak Darwis bagaimanapun perbuatan mereka pada kalian.." ujar Datuak.
Meskipun jawaban itu tidak membuat Niko puas, namun ia mengangguk paham.
Selama Niko dan Datuak Kayo mengobrol, pandangan Marhan tidak lepas dari Salma yang duduk menyimak obrolan ayahnya. Hingga tiba tiba pandangan keduanya bertemu.
Kali ini keduanya tidak memalingkan muka. Keduanya tetap saling memandang satu sama lain selama beberapa waktu. Salma bahkan tersenyum manis ke arah Marhan yang membuat pemuda itu semakin salah tingkah.
Hingga akhirnya sebuah pertanyaan Niko membuat Marhan tersentak.
"...menurut Datuak, apa kami mundur saja?.."
Datuak Kayo nampak terkejut, begitu juga Marhan.
"Loh? Kenapa Nik??" ujar Marhan. Niko memang sudah mengatakan hal yang sama tadi, tapi Marhan tidak menyangka ia akan mengatakan itu lagi di hadapan Datuak.
Niko memandangi wajah Marhan sesaat lalu kembali berbicara pada Datuak Kayo.
"Sejak awal kami disini, kami benar benar belum ada perkembangan apapun. Malah sebaliknya, kami dapat penolakan dari warga pak. Penolakannya bukan mereka tidak mau ikut sholat saja, tapi sampai mengusir kami bahkan menyebut kami pembunuh" adu Niko.
Datuak menghela nafasnya sambil memandangi Marhan dan Niko secara bergantian.
"kami khawatir keselamatan kami disini terancam.." ucap Niko.
"Nak.. memang itu ujiannya. Tapi bapak juga tidak bisa melarang kalian.. kalianlah yang melakukannya, kalo kalian tidak kuat, kalian boleh mundur.. tapi Salma.."
"Nggak pak. Kami ga akan menyerah" potong Marhan.
Niko dan Datuak tersentak dengan kalimat tegas Marhan itu..
"kami akan hadapi risiko ini. Kalau kami menyerah sekarang, semua usaha kami sia sia. Mungkin bukan hari ini, bukan juga besok, bukan juga minggu depan atau bahkan bulan depan. Tapi kami yakin setiap hal baik akan menghasilkan sesuatu yang baik juga" ucap Marhan berapi api.
Salma tersenyum sambil memandangi Marhan. Dari sudut matanya Marhan bisa melihat itu, meski pandangannya sedang tertuju pada Datuak dan Niko.
Ucapan penuh keyakinan sepertinya cukup melegakan Datuak. Ia tersenyum puas. Namun tidak dengan Niko yang merasa optimistis Marhan saat ini adalah sebuah kekeliruan. Kemana Marhan yang putus asa di teras tadi sore? Kenapa orang yang sudah terlihat akan menyerah tiba tiba bisa jadi seyakin ini dalam hitungan jam?
Marhan menepuk pundak Niko untuk menghilangkan keraguan sahabatnya itu.
"Ayo Nik. Bisa. Demi Surau ini.. demi warga semuanya. Kita coba sedikit lagi" ujar Marhan.
Niko tidak punya pilihan jawaban selain hanya mengangguk.
Kira kira setengah jam kemudian, Datuak izin pamit pulang. Marhan dan Niko bangkit dari duduk untuk mengantarkan beliau hingga teras. Sepanjang jalan menuju motor Datuak yang hanya beberapa meter dari Surau itu Niko mengajak Datuak mengobrol. Marhan baru saja akan ikut dalam obrolan itu sampai tiba tiba saja ujung lengan kemejanya ditarik pelan oleh Salma.
"Eh?" Marhan mengira bajunya tersangkut sesuatu. Namun saat melihat Salma yang mencubit ujung lengan bajunya, Marhan hanya terdiam sambil memandanginya.
"terima kasih sudah berjuang untuk menikah sama aku.." ucap Salma dengan suara kecil setengah berbisik.
Jari jari Marhan bergetar karena canggung. Perasaan yang sulit Ia jelaskan menyeruak di dalam dadanya. Namun ia tidak tau harus menjawab apa selain sebuah kalimat refleks yang terlontar begitu saja dari mulutnya.
"sama sama.. doakan kita memang ditakdirkan akan bersama.."
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAU
HorrorKisah dari sebuah Surau yang menjadi lokasi seseorang mengakhiri hidupnya sendiri di Sumatera Barat. Marhan dan Niko, ditugaskan meramaikan kembali Surau ini setelah kosong dan dicap terkutuk oleh warga setempat selama bertahun tahun..