"..kemarin ini kering kan?" tanya Niko meyakinkan.
"Iya! Saya belum sentuh apapun kemarin. Ini kamu nemuin udah begini?" tanya Marhan balik.
"Iya, saya belum mulai apa apa, dan langsung lihat papan mandi ini kok basah bahkan menggenang.. saya kira awalnya karena hujan" ungkap Niko.
"ngg.. mungkin iya kali ya. Hujan sebentar pas saya dan kamu tidur Nik. Terus ada rembesan atau apa jadinya ini basah" kata Marhan mencoba mencari celah logis.
"tapi perasaan saya ko gelisah ya" ujar Niko sambil mengecek gembok yang terpasang rantai di keranda dan papan mandi itu.
"Soalnya cuma papan mandinya aja yang basah. Lantai atau yang lainnya enggak" ujar Niko sambil melepaskan rantai tadi dari tangannya.
Cring
Suara benturan antar rantai itu menimbulkan suara. Suara yang sama seperti yang Marhan dengar tadi malam..
Marhan tersentak. Pikirannya langsung teringat suara suara gaduh tadi malam yang asalnya memang dari keranda ini. Terlebih suara gemerincing yang ia dengar semalam ternyata berasal dari rantai yang berbenturan satu sama lain. Masalahnya, angin saja tidak cukup untuk membuat rantai ini bergerak, harus ada sesuatu yang menggerakannya sehingga saling membentur dan menghasilkan suara gemerincing itu.
Namun karena tidak ingin pikirannya dan Niko menjadi kemana mana padahal baru malam pertama, Marhan tidak membahas suara tadi malam dan membiarkan Niko mempercayai asumsi bahwa tadi malam sempat ada hujan sekilas saat keduanya tidur.
"yaudah, lanjut kerjaanmu sana. Saya Cuma mau nanya ini aja tadi" ujar Niko.
Sekitar jam 9 pagi, Datuak Kayo kembali datang membawa makan siang sekaligus hendak mengambil lampu emergency untuk dicas kembali.
"bagaimana semalam? Nyaman tidurnya?" tanya Datuk.
"Alhamdulillah pak. Aman. Paginya dingin" ujar Marhan.
"iya, karena kampung ini masih banyak hutannya, dan sekitar daerah ini juga perbukitan, hawa waktu paginya sejuk cenderung dingin" jelas Datuk.
Setelah memberikan makanan dan mengambil lampu, Datuak Kayo berpamitan. Ia mengatakan akan kembali sore nanti setelah menyelesaikan urusan urusannya.
Sepeninggal Datuak, Marhan dan Niko menyantap makan siang bersama sama. Tugas untuk bersih bersih surau sejauh ini bisa dikatakan selesai. Walaupun tidak terlihat signifikan, setidaknya setelah dibersihkan debu yang menumpuk dan jaring laba laba yang sebelumnya ada di sudut sudut ruang sudah menghilang.
Ditengah kegiatan makan itu, Niko menyampaikan gagasannya mengenai apa yang harus keduanya lakukan demi menarik warga mau beribadah.
"Ruak, kita disini tamu. Orang baru. Kalau kita mau didengar dan diikuti. Saya rasa kita memang harus berbaur sama masyarakat disini. Biar kita juga dikenal mereka" ujar Niko sambil melepaskan daging ayam dari tulangnya.
"nah, pas banget Nik. Itu alasan saya ngajak kamu disini. Kalau saya yang ngobrol sama warga, saya yakin bakal mental. Secara bahasa beda, dan nanti saya dikira sombong" ujar Marhan.
Meskipun sudah 3 tahun tinggal di Sumatera Barat, nyatanya ia hanya mampu memahami bahasa Minang, namun lidahnya sangat kesulitan mengucapkannya.
"kita kerjakan ini berdua. Kalau syukur syukur nanti ada yang nerima, mereka juga harus tau siapa imam surau mereka" ujar Niko.
"boleh, saya rasa ada benarnya. Kapan kita mulai? Hari ini?" Marhan bersemangat.
"Ba'da dzuhur, biasanya petani petani pada pulang atau duduk duduk di warung. Kita gabung sama mereka aja dan basa basi dulu aja" usul Niko.
Setelah dzuhur, keduanya menaiki motor mengelilingi kampung untuk mencari warung. Namun sepertinya warung yang bisa digunakan untuk duduk duduk dan bercengkrama dengan warga hanyalah warung yang sama yang dulu menunjukki mereka jalan ke rumah Datuak Kayo.
Setiba di warung itu, Niko turun dan langsung memesan minuman ke ibu ibu pemilik warung. Niko memesan segelas kopi susu dan sebatang rokok, sedangkan Marhan memesan teh manis hangat.
Di warung itu terdapat dua orang yang sepertinya petani juga sedang beristirahat sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok. Niko dengan sikap extrovertnya coba mendekati keduanya.
"ado korek pak?" (ada korek pak?) sapa Niko, memulai obrolan dengan kedok meminjam korek.
Niko lalu mengeluarkan sebuah rokok merek lokal di saku belakangnya dan meletakkannya di mulut. Marhan sempat kaget mengetahui Niko merokok karena selama tinggal bersamanya, Niko sama sekali tidak merokok. Namun ini hanyalah trik agar ia mudah berbaur dengan warga.
Pria berkumis tipis yang ada di samping Niko lalu menawarkan korek yang ia punya kepadanya. Niko mengambilnya sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Dengan sedikit trik dan pertanyaan pertanyaan mainstream untuk basa basi, Niko akhirnya mendapat ruang diantara obrolan kedua pria itu. Pria yang mengenakan topi memperkenalkan dirinya sebagai Piri, dan pria yang meminjamkan koreknya kepada Niko bernama Darwis, keduanya merupakan petani yang baru saja pulang dari sawah.
"awak Niko pak. Ko kawan wak, Marhan. Kami urang baru disiko nan ditugaihan Datuak Kayo untuak jadi marbot surau tu" (saya Niko pak, dan ini teman saya Marhan. Kita orang baru disini yang ditugaskan Datuak Kayo untuk jadi marbot surau) Niko memperkenalkan diri.
Wajah kedua pria itu yang awalnya ramah mendadak berubah. Keduanya hanya mengangguk canggung sambil memalingkan mukanya ke arah lain.
"Nah kok lai wakatu apak untuak ka surau, buliah bana yo pak. Lah kami barasiahan pulo surau tu bia bisa tapakai" (Nah kalau bapak bapak ada waktu ke surau, bisa kesana pak. Sudah kami bersihkan juga biar bisa dipakai untuk sholat) tambah Niko lagi.
"Yo.. yo.. yo.. Ni bara total ko ni?" (Iya.. iya.. iya.. berapa totalnya ini kak?) tanya Darwis yang langsung meminta totalan belanjanya di warung itu pada pemilik warung dan membayarnya.
"diak, uruih urusan kalian surang. Jan kami lo kalian suruah suruah!" (dek, urus saja urusan kalian sendiri. Jangan kami yang kalian suruh suruh!) ujar Darwis dengan nada menyindir.
Keduanya lalu bergegas berdiri dan meninggalkan Niko dan Marhan tanpa mengucapkan salam atau apapun. Keduanya nampak berbicara satu sama lain sambil berjalan menjauh dari warung tersebut.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAU
HorrorKisah dari sebuah Surau yang menjadi lokasi seseorang mengakhiri hidupnya sendiri di Sumatera Barat. Marhan dan Niko, ditugaskan meramaikan kembali Surau ini setelah kosong dan dicap terkutuk oleh warga setempat selama bertahun tahun..