Bagian 1 - Part 7

1.7K 77 0
                                    

Pak Datuak mengangguk.

"Iya, dipikirkan dulu saja. Dari bacaan Quran dan ilmu kamu, bapak tau kamu punya kapasitas yang baik. Apalagi seorang lulusan terbaik. Tapi ada guna ilmu di dalam kepala orang yang tidak mau mengajarkannya ke orang lain kan?.." ujar Datuak Kayo dengan senyum penuh arti.

Akhirnya Marhan menuruti saran Niko. Ia berjanji akan memberikan jawabannya sesegera mungkin. Datuk menyetujui hal itu.

Keempat orang itu lalu keluar dari mesjid dan kembali ke rumah Datuak Kayo. Niko sempat menoleh ke belakang dan memperhatikan lagi surau itu. Entah kenapa ia sejak di dalam tadi tidak merasa tenang.

Setelah sejenak mengobrol, Marhan dan Niko berpamitan dengan Pak Datuak dan Salma. Di sepanjang jalan pulang, Marhan lebih banyak diam seperti berpikir.


"Nik kenapa kamu mencegah saya tadi?" tanya Marhan sambil melepas jaketnya dan turun menuju pintu garasi rumah Niko.

"jangan terlalu gegabah. Kamu tidak tau orang Minang itu keras kepala dan tidak bisa dihajar dengan dalil dan semacamnya. Adatnya kuat" jelas Niko.

"Jadi kamu menyuruh saya untuk tidak mengambil syarat ini?" Marhan mulai terdengar kesal.

"Saya tidak akan melarangmu. Saya hanya memintamu untuk berpikir jernih dan berencana. Kamu punya batas waktu yang sebentar buat bisa bikin surau itu ramai sebelum kamu ke Mesir. Kalau kamu cuma datang aja dan sholat disana, itu Datuak melakukannya dua tahun sama aja gagal" jelas Niko lagi.

"ya kan tadi kamu dengar, menurut Datuk, saya punya daya tarik dari bacaan Quran. Ini bisa jadi aset yang bikin orang datang berjamaah. Kita bisa pakai pengeras suara kalau perlu. Lagipula ini bukan soal berhasil atau tidak, tapi lebih kepada mengambil tantangan sebagai seorang pemberani, atau mundur sebagai pecundang" Marhan sama kerasnya.

"kamu yakin?" cecar Niko.

"Yakin, seyakin yakinnya"

Niko menghela nafasnya, sahabatnya itu memang seseorang dengan kepercayaan diri tinggi dan sulit dibantah.

"yasudah kalau begitu. Selamat berjuang. Kabari Pak Datuak sana" perintah Niko.

"Kamu tidak ikut dengan saya hah?" tanya Marhan.

"Sejak kapan saya terlibat dalam rencana ini?? Yang mau menikah sama Salma kan kamu" balas Niko sambil menghadap kaca dan memperbaiki arah rambutnya yang berantakan karena helm.

"tapi saya butuh orang yang bisa bahasa Minang lancar. Warga lokal. saya yakin dengan begitu orang orang disana akan makin mudah ditarik. Gimana gimana?" tawar Marhan.

"Saya capek. Selesaikan urusanmu sendiri dengan caramu" Niko sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan.

Namun, Marhan tau apa yang bisa membuat Niko tertarik dan berpikir ulang tentang rencana itu. Ia mengenal Niko sebagai seseorang yang jarang menyia nyiakan peluang pahala. Meskipun memang terlihat cuek dan secara akademis biasa saja, Niko adalah orang yang selalu terdepan dalam hal kebaikan jariyah.

"Yakin? Bayangkan jika nanti kita berhasil bawa agak tiga orang aja jadi rajin sholat, rajin ngaji, terus orang itu pulang ke rumahnya, ada istri sama anaknya, terus dia ajak keluarganya sholat dan ngaji juga, wah pahalanya kebayang tuh seberapa banyak. Ibadah wajib lagi kan. Unta meraah" rayu Marhan.

"...." Niko masih tidak menanggapi. Ia masih merapikan rambutnya yang lepek itu di depan kaca.

Namun Marhan belum menyerah.

"..terus bayangkan anak anak mereka nanti diantar ke Surau, pada belajar ngaji, ngehapal alfatihah, terus sholat pakai hapalan itu seumur hidup. Beuh guru ngajinya bakal panen pahala itu" rayu Marhan lagi.

"... Sialan.." decak Niko.

"ahahaha yakin mau melewatkan kesempatan emas ini?"

...

"yaudah. Saya ikut. Tapi target saya bukan bantu kamu. Tapi apa yang kamu sebutkan daritadi, dan itu untuk diri saya sendiri" jawab Niko.

"NAH BAGUS. Emang teman sejati si Niko Piliang ini" ledek Marhan sambil mencolek dagu Niko.

"HEH! JAN ANG AWAI DEN BARUAK" (HEH! JANGAN SENTUH SENTUH SAYA NYET) tepis Niko.

Marhan hanya tertawa melihat wajah kesal Niko.

"Tapi ruak.."

"Ya?"

"Kamu yakin tinggal disana?" tanya Niko.

"Yakin. Kenapa emangnya? Kamu takut tinggal di Surau terlantar begitu?"

"Takut sih engga. Tapi saya ngerasa ga nyaman di dalam Surau itu. Kayak ada yang aneh aja. Kamu ga ngerasa?" selidik Niko.

"Masalah pengap atau panas, ya itu paling karena sirkulasi udaranya aja. Kalo kita isi dan bersih bersih bakal nyaman kok" jelas Marhan.

"bukan. Bukan ga nyaman yang begitu. Ada yang aneh pokoknya dari Suraunya dan saya gabisa jelasin apa sebabnya"

Marhan memandang Niko dengan ujung matanya.

"Ini maksud kamu hantu? Niko, Niko, anak pondok pesantren kok takut hantu, aduh aduh.. Nik, Surau itu rumah ibadah, rumah Allah, gaada rumah ibadah yang angker atau apalah itu. Disana tempat orang orang ibadah, menyembah Tuhan, meskipun terlantar sekalipun, dia ga akan angker" jelas Marhan panjang lebar.

"udah udah gausah ceramahi saya. Kamu kontak aja Pak Datuak, dan atur jadwal kita kesana buat mulai ngisi Suraunya. Bilang juga kalau saya bakal ikut misi meramaikan surau itu"

Marhan tersenyum puas.

Ia mengambil handphonenya dan mengetikkan pesan dengan tujuan Datuak Kayo.

"Assalamualaikum pak. InsyaAllah saya siap berikhtiar untuk meramaikan surau kampung bapak. Niko akan saya ajak untuk menarik para warga. Apa tidak masalah?"

Tak lama pesan balasan dari Datuak masuk.

"Waalaikumsalam Marhan. Alhamdulillah. Boleh, baik bapak tunggu kedatangannya lagi"

Marhan menghadap Niko dengan tatapan semangat.

"ayo kita buat Surau itu ramai dan bermanfaat sebagaimana seharusnya, lalu saya akan pergi ke Mesir bersama Salma!"


Bersambung ke Bagian 2

SURAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang