1. Sunyi

130 15 4
                                    

Jakarta, Oktober, 2007

Anak berusia 4 tahun tengah bersenang-senang dengan hujan. Wajahnya tampak ceria, ia seperti orang yang bebas melakukan apa pun tanpa ada halangan.

"Uza, ayo masuk!" suara Mamah menghentikan aktivitasnya.

"Nanti Mah, aku masih ingin bermain," balasnya.

Wanita itu menatap anaknya dengan penuh kehangatan. Namun, di sisi lain. Ada anak sulungnya yang tengah melihat adiknya bermain hujan. Gadis itu tidak ikut bermain, dengan alasan ia tidak menyukai hujan.

"Kakak, ayo main." Ajak sang adik. Namun, sang kakak hanya diam. Tidak membalas ucapan adiknya.

"Ira, kamu kenapa?" Kini wanita itu mendekati anak sulungnya. Tetapi, Ira tidak menghiraukan sang mamah. Seharusnya di usianya, anak-anak senang bermain. Tapi, tidak dengan Ira, gadis itu banyak diam dan seolah tak peduli.

"Ira, jawab Mamah sayang," masih dengan nada bicara yang lembut. Sang mamah mengajak anaknya berbicara.

"Ira mau masuk," jawabnya singkat. Gadis itu melangkah pergi dari teras rumah. Mamah hanya bisa menatap kepergian putrinya.

Uza yang melihat aksi kakaknya dari kejauhan. Menghampiri mamah. "Mah, kak Ira kenapa?"

Mamah hanya tersenyum menatap anak bungsunya. Mengajak putrinya untuk masuk. "Ayo masuk, nanti kamu masuk angin."

Uza pun tidak menolak, ia berlari kecil dan bersenandung. Mengisi rumah yang sunyi menjadi ramai. Mamah yang melihat senyum kebahagiaan dari Uza ikut tersenyum juga. "Andai, kakakmu seperti kamu, sayang, Mamah juga ingin melihat dia tersenyum," ucapnya lirih.

Sebagai seorang ibu, ia tidak kuat melihat anak sulungnya murung. Bahkan ia sendiri tidak tahu masalahnya ada di mana.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.20, sudah waktunya makan malam. Mamah pun menyiapkan sajian di atas meja makan. Menunggu anak-anaknya dan sang suami.

"Hai Mamah," sapa Uza.

"Hallo sayang, hai Ira." Wanita itu menyapa anak sulungnya. Namun, gadis itu hanya memberikan  senyuman saja. Dengan sabar, mamah menghadapi sifat Ira. Yang terlalu tertutup.

"Oke, oh ya, Mamah masak makanan kesukaan kalian loh," wanita itu berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Ia ingin dekat dengan anak sulungnya, tapi ... gadis itu enggan di dekati.

"Mah, besok Uza ada acara loh di sekolah," sepanjang makan malam. Uza banyak bicara, tidak seperti Ira. Gadis itu hanya diam, dan hanya menimbulkan bunyi dari dentingan garpu dan sendok yang saling beradu.

"Oh, ya? Acara apa sayang?"

Belum sempat Uza menjawab, Ira langsung Nyamber terlebih dahulu. "Ira udah selesai, Ira masuk duluan ya," pamitnya.

"Ira—" belum sempat mamah berbicara. Ira sudah menjauh dari meja makan. Wanita itu hanya diam, sambil menatapi kepergian putri sulungnya. Namun, ia lekas  mengalihkan pembicaraan.

"Yok dilanjut makannya. Uza, abis makan, kamu langsung tidur ya. Besok kan harus sekolah," ucap mamah.

"Siap Mah." Uza meletakan tangannya di samping alis, seperti orang sedang hormat.

***

"Mah, aku pamit," ucapnya. Tapi, tidak ada yang menyahutinya. Meja makan yang kosong, tanpa ada satu orang pun.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang