9. Tempat Rahasia

24 3 0
                                    

Setelah tugas mereka selesai, Bani dan Kaira pulang lebih dulu. Karena, Bani dan Kaira berjanji untuk pergi ke suatu tempat. Hasan dan Heru yang melihat Bani seperti orang yang terburu-buru bertanya.

"Lo mau ke mana, Ban?" tanya Hasan.

"Ha? Gue mau pergi ke suatu tempat," balasnya.

"Ngapain? Sama kaira?" Hasan ini tipikal laki-laki yang kepoan orangnya.

"Ada deh, kepo lo, ah."

"Wah, parah, lo mau—" Suara Hasan terhenti saat Heru memukul pundaknya pelan. Seperti sebuah isyarat untuk tidak ikut campur. Karena Heru tahu, bagaimana sifat Bani.

"Sakit anjir," lebay Hasan.

"Dih, gue mukul lo pelan ya, gak usah lebay deh San, jadi cowok," protes Heru.

Kaira diam, menatap kedua temannya yang sedang bertengkar. "Berantem terus, awas kalian jodoh," ujar Kaira tiba-tiba.

Di situ, Heru berdecih. Menolak kalimat yang baru saja Kaira lontarkan. "Dih, najis. Gue masih normal anjir, lo kalo mikir gak usah kejauhan Ra, awas stres," ucapnya tak terima. Kaira terkekeh melihat garis wajah Heru. Saat sedang marah, wajahnya memerah, dan tatapan matanya seperti ibu-ibu yang sedang julid. Sangat lucu.

Bani yang tidak ingin membuang waktu, ia pun menyudahi obrolan itu. "Udahlah, entar kesorean. Ayo Koala, entar lo pulang kemalaman," finalnya. Kaira pun mengikuti apa kata Bani. Gadis itu berjalan menuju motor Bani.

"Kita duluan ya," pamit Kaira.

"Hati-hati Ra, awas Bani macam-macam, kalo ada apa-apa langsung hubungin pemadam kebakaran ya," ucap Hasan.

"Gini nih, kalo pas pembagian otak, datangnya telat. Jadi gak berfaedah isinya," celetuk Haru.

"Sirik aja lo, Ru, orang sirik itu, tanda tak mampu," balas Hasan.

"Idih, gue sirik sam lo? Otak gue isinya gak kayak lo, jadi gak ada kata sirik dalam kamus hidup gue." Usai berucap demi kian, Heru langsung menuju motornya. Bersiap-siap untuk pulang.

Di sepanjang jalan, Kaira terus menatap riuhnya ibu kota Jakarta. Sedangkan Bani, fokus ke depan, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Sampai akhirnya, keheningan itu dipecahkan Kaira. "Ban, lo mau ajak gue ke mana?"

"Apa sih Ra? Gak dengar gue," balasnya. Memang, Kaira salah sasaran saat mengajak ngobrol seseorang, karena pada saat berkendara. Semua orang mendadak jadi budeg. Ia pun terdiam, daripada emosi karena respon dari Bani.

Sekitar 25 menit berjalan, Bani menghentikan motornya di kawasan taman. "Turun Ra," seru Bani. Kaira turun, sorot matanya menganalisis sekeliling taman itu.

"Ban, kita ngapain ke sini?" setelah sekian lama diam, Kaira kembali membuka suaranya.

"Ini yang gue maksud, gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Gimana, bagus gak? Lo suka gak?"

"Suka banget, suasananya kayak tenang banget gitu," ungkap Kaira.

Setelah jam sekolah selesai, Bani mengajak Kaira untuk berjalan-jalan ke taman Langsat, taman yang berjarak tidak jauh dari SMA mereka. Di taman itu, terlihat sebuah danau kecil, yang dipenuhi dengan tumbuhan teratai.

Bani berjalan menuju danau itu, yang diikuti oleh Kaira dari belakang. Keduanya duduk, sambil menatap kosong ke arah depan. "Ra, lo tau gak, kenapa gue suka banget ke sini?" sekian lama hening, Bani memulai kembali obrolan antara mereka.

Kaira menoleh, menatap Bani yang masih fokus ke depan. "Kenapa?"

Bani tersenyum hambar, mengingat kembali momen 10 tahun lalu. Sangat lama, tapi momennya tak bisa dilupakan. "Sebelum ayah sama mamah pisah, dan ayah mutusin buat pergi dari rumah. Gue pernah melukis bahagia sama mereka. Di situ, tawa gue tanpa kepalsuan, gue bahagia banget Ra, kayak anak-anak pada umumnya. Dan di tempat inilah, gue mengukir tawa, setiap kali gue ke sini. Gue selalu ngerasain pelukan hangat dari mereka. Ra, menurut lo, definisi bahagia dari seorang anak broken home itu apa?"

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang