14. Mencoba Terbuka

15 3 0
                                    

Kaira menuju parkiran. Saat tiba di sana, ia mendapatkan Heru sedang duduk di atas motornya. "Ru, lama ya nunggunya?" Kaira bertanya.

"Gak juga, ya udah yok jalan. Entar keburu sore," ajak Heru.

"Ayo," setuju Kaira.

Keduanya pun berjalan menelusuri ibu kota. Angin sejuk berhembus melewati mereka. Hanya ada kebeningan antara mereka berdua, Heru bukan Bani, yang selalu mencoba mencairkan suasana, apalagi Hasan, yang selalu membuat kegaduhan. Ini, Heru. Laki-laki yang diam dengan bahasanya sendiri. Sedangkan, Kaira, gadis itu pun tidak pandai mencari topik obrolan.

Tidak butuh waktu lama, untuk sampai ke tempat tujuan. "Ra, ini tempatnya. Gue harap, lo bisa terbuka. Ini bukan soal, seberapa kuat, lo nahan semuanya, tapi soal hancurnya mental seseorang." Kaira terdiam. Gadis itu baru menyadari, bahwa di balik diamnya Heru. Banyak hal yang laki-laki itu tahu.

Kaira mencoba untuk berbicara, "Ru, lo paham soal ini? Tentang seseorang yang mengalami mental health?"

"Gue, tau, Ra. Gue, pernah ngalamin itu. Kakek, gue selalu bawa gue ke tempat ini. Katanya,  yang punya tempat ini temannya. Gue juga sering main ke sini. Karena dulu, gue gak punya teman. Di sinilah, gue nemuin diri gue sendiri," jelasnya.

Kaira menatap Heru, dengan lekat. Masih tidak percaya, bahwa Heru akan berbagi lukanya. Pasalnya, yang Kaira tahu, Heru adalah orang yang paling privasi soal kehidupannya. Dia, selalu memberikan bahagiannya saja, tanpa ingin berbagi lukanya. Sama, seperti yang Kaira lakukan saat ini.

"Ngobrolnya di dalam aja yok! Biar enak," Kaira menyetujuinya. Gadis itu berjalan di belakang Heru. Saat pertama kali masuk, netra Kaira menganalisir setiap sudut tempat itu. Banyak, anak kecil di sana. 

Kaira, mengapai pergelangan tangan Heru. "Ru, ini tempat apa?"

"Ini, panti asuhan, Ra, tempat di mana gue bisa kenal orang lain. Selain keluarga gue, sendiri," balas Heru.

"Panti asuhan? Kenapa mereka di sini? Terus, orang tua mereka mana?"

Heru tersenyum kepada Kaira. Ini kali petama, lelaki itu menunjukan kehangatannya. "Nanti juga, lo bakal tau, Ra. Sekarang masuk aja dulu. Kita ketemu sama ibu panti," balas Heru. Kaira tidak lagi banyak bertanya, ia mengikuti langsung Heru.

Ketika mereka tiba di sana, wanita paruh baya menyambut mereka dengan begitu hangat. Senyuman tulus terukir jelas di sudut bibirnya.

"Senyuman itu ... seperti, senyuman mamah, dulu. Sebelum kehangatan itu hilang," gumamnya kecil. Tanpa sadar, air matanya terjatuh. Sontak Heru,  meraih wajah Kaira. Takut, gadis itu kenapa-napa.

"Ra, lo, gak papa kan? Ada yang sakit?" ternyata, di balik wajah cueknya ada kehangatan yang ia sembunyikan. Sikap Heru, seketika berubah 80° calsius.

"Gak, papa. Gue, cuman sedikit pusing aja, Ru," balas Kaira. Tanpa pikir panjang, Heru menarik Kaira, agar gadis itu lebih dekat dengannya.

"Gue, anter ke dalam. Lo, istirahat sebentar. Nanti, kalo udah enakan, lo bisa panggil gue," entah sudah berapa banyak kalimat yang Heru lontarkan. Di panti, Heru lebih banyak bicara. Bahkan, ia sesekali mengajak anak-anak yang berada di panti bermain.

Kaira menatap nanar ke arah depan, memandangi senyum dan tawa kebahagiaan dari anak-anak itu. Seketika, terlintas bayangan masa kecilnya dulu, yang penuh kebahagiaan. "Gue, pernah kayak gitu. Tertawa lepas tanpa beban. Tapi, tawa itu hilang. Gue, juga gak tau, ke mana diri gue yang dulu? Gue pengen kembali, tapi kenapa sesulit ini?" saat Kaira tengah mengoceh sendiri. Ada seorang anak laki-laki datang menghampirinya.

"Kak, ini obat. Kata, ibu, Kakak lagi sakit," ucapnya. Ia menyodorkan kotak obat dan segelas air putih.

Pandangan Kaira, teralihkan. Ia menatap anak itu, terlihat sempurna, wajah yang tampan, hidungnya mancung, dan bibir yang tipis. Kaira, meraih jemari anak itu. "Hai, siapa nama kamu?"

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang