Jakarta, Januari, 20089
Terlihat jelas, seorang gadis kecil tengah bermain ayunan di dekat taman rumahnya. Ia duduk sendiri, tanpa ada yang menemani. Wajahnya begitu cuek, membuat anak-anak sebayanya tidak berani mendekat, kerena takut gadis itu marah. Namun, ada satu gadis yang tidak pernah takut apa pin. Gadis itu menyimpan banyak keberanian.
"Kak Ira, aku duduk sini ya," pintanya. Walaupun sudah berkali-kali di tolak. Gadis itu tidak putus asa, ia selalu ingin dekat dengan kakaknya.
"Gak usah dekat-dekat aku!" ujarnya.
Uza tersentak mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar penolakan yang menyakitkan dari kakaknya, biasanya, Ira hanya diam, dan pergi. Tapi, kali ini, gadis itu menolak dengan meninggalkan sebuah kalimat.
"Kak—" Uza menatap sang kakak, menaruh banyak harap pada kakaknya. Ia tidak tahu kesalahan apa yang membuat kakaknya seperti ini padanya.
Namun, Ira tidak memperdulikan adiknya. Gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan sang adik seorang diri. Setelah kepergian kakaknya, Uza terdiam. Menatap nanar ke arah depan. Gadis itu membuat lengkungan senyum, meskipun senyuman itu tampak menyakitkan.
"Aku salah apa?" begitu banyak pertanyaan di dalam benaknya. Walaupun Mamahnya selalu mengatakan, bahwa kakaknya tidak kenapa-napa. Namun, dengan kejadian hari ini, Uza merasa ada sesuatu.
Uza pun tidak ingin memikirkan hal yang macam-macam. Gadis itu beranjak dari tempatnya, kembali pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, Uza berusaha menahan air matanya, Uza memang periang, tapi dia juga cengeng. Gadis itu mudah sekali menangis.
Sampainya di rumah, Uza melihat Mamahnya tengah menanam sesuatu di kebun samping rumah mereka. Dengan senyuman manis, Uza menghampiri Mamah. Ia melupakan kejadian di taman tadi, Uza memang bukan orang yang mudah melupakan sesuatu, tapi ia sangat pintar menutupinya. Agar tidak diketahui orang lain. "Mamah, lagi ngapain?" tanya Uza. Gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher Mamah, menempelkan pipinya, dengan pipi Mamah.
"Hai sayang, kamu udah pulang? Kok gak bareng sama kakak?" Mendengar kalimat 'kakak' Uza terdiam sejenak. Namun, tak lama kemudian ia tersenyum, kali ini ia berbohong. Uza tidak ingin Mamah khawatir akan dirinya dan kakak.
"Tadi, kakak udah ajak Uza pulang. Tapi, Uza masih mau main Mah. Jadi, Uza suruh kakak pulang duluan," bohongnya. Setelah berucap, Uza memperlihatkan senyumannya. Ia harus berbohong, karena ia tidak ingin kakaknya marah.
"Oh, lain kali kalau kakak ajak pulang, pulang ya," nasehat Mamah. Uza mengangguk paham. Lalu, gadis itu berjongkok di samping Mamah.
"Mah, Uza mau coba boleh?" Uza sangat suka mencoba sesuatu hal yang baru. Ia memiliki rasa penasaran yang tinggi.
"Emang gak papa kotor?" sedikit tidak yakin, tapi Mamah tahu. Bahwa ini Uza, bukan Ira.
Lagi-lagi Uza menggeleng. "Enggak, nanti Uza bisa punya kebun sendiri, jika sudah belajar menanam."
Anak yang pintar, selalu membuat kedua orang tuanya bangga. Namun, Papah sangat jarang ada di antara mereka. Lelaki itu sangat sibuk, waktu weekend pun kadang ia tetap bekerja. Namun, Mamah selalu meyakinkan anak-anaknya. Bahwa Papah mencari uang untuk kebutuhan mereka. Jadi, Uza dan Ira tidak banyak menuntut waktu bersama Papah.
Di balik canda tawa Uza di luar, bersama Mamah. Sosok Ira, menatap mereka dari balik jendela.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahami Aku! (End)
Teen FictionWarning ⚠️ bijaklah dalam membaca! Sebelum baca, alangkah baiknya follow akun aing terlebih dahulu, terima kasih 🤗 Bagaimana jika seorang gadis memiliki mimpi untuk hidup bahagia. Namun, ia malah menyimpan banyak luka. Kehidupan yang ia alami, tida...