13. Jujur Kaira!

22 2 0
                                    

Setelah bel istirahat berbunyi, Bani lekas pergi ke taman. Ia takut, jika Kaira menunggu. Namun, sang empu yang ditunggu kehadirannya belum kunjung terlihat.

"Mana sih, Kaira, lama banget," gerutu Bani.

"Ban," terdengar suara seseorang memanggil nama Bani. Lelaki itu menghadap ke belakang, mencari sosok yang telah memanggil namanya.

"Kaira, udah sampe lo?" Kaira tidak menjawab, ia lekas duduk di samping Bani.

"Ada yang pengen lo bahas? Soal apa?" Kaira benar-benar tidak menyadari, bahwa yang ingin Bani tanyakan itu, tentang dirinya.

"Duduk dulu deh, biar enak ngomongnya." Suruh Bani, Kaira pun mengikutinya. Gadis itu duduk di samping Bani, menatap lelaki itu dengan begitu lekat.

"Kayaknya penting, soal apa?" Kaira kembali bertanya.

Bani menghelaikan napas. Mengubah posisi duduknya, menjadi menatap ke arah Kaira. "Ra, gue mohon sama lo. Cerita kali ini, lo kenapa?"

Bagai bom yang dilemparkan dekat dirinya, Kaira diam. Tidak bersuara sedikit pun. Ini pertanyaan menjebak. Melihat respon Kaira, Bani jadi yakin. Bahwa ada sesuatu yang gadis itu sembunyikan darinya. "Ra, kenapa diam? Pasti lo ada masalah kan?"

Kaira lekas beranjak dari duduknya. "Gak ada, lagipula apa urusannya juga sama lo," ujarnya.

"Gue selalu terbuka tentang apa pun sama lo. Tapi, kenapa lo enggak? Salah kalo gue pengen tau tentang teman gue sendiri? Lo udah gue anggap sebagai rumah gue, Ra. Tapi, kenapa lo gak bisa anggap gue, sebagai rumah lo?" Kaira terdiam. Yang Bani katakan itu benar, kenapa ia tidak bisa berbagi lukanya? Ia selalu ingin kuat, tapi ternyata dirinya pun butuh pundak untuk menangis. Ia butuh tempat untuk berkeluh kesah.

Kaira mengambil napas, membuangnya secara perlahan. "Ban, gue benaran gak papa. Gue kecapekan aja. Lo tau, soal ini pasti dari Astrid kan?"

"Kalo iya kenapa? Plise, Ra, gak usah bohong. Kalo lo, beneran sakit, ayo gue anterin ke dokter," ajak Bani. Namun, Kaira menolak. Ia masih kekeh pada pendiriannya.

"Gue gak papa, udahlah gue mau ke kantin. Lapar," balasnya. Gadis itu melangkah pergi. Tetapi, sebelum ia menjauh. Ia masih bisa mendengar kalimat yang Bani lontarkan.

"Jujur Kaira! Gue gak mau lo kenapa-napa. Lo udah kayak vitamin yang harus gue konsumsi setiap hari, biar gue kuat, biar gue gak lemah. Tapi, kalo lo kayak gini. Gue ngerasa jauh dari lo, tolong, Ra. Jangan bohongin diri lo sendiri dan orang terdekat lo," kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Bani. Kaira menghentikan langkahnya, tanpa sadar, air matanya terjatuh. Ia tidak menyangka, bahwa dirinya dibutuhkan dan masih ada orang yang menyayanginya.

Kaira tidak bergerak sedikit pun, hanya isakannya yang terdengar. Sampai, sebuah kalimat kembali terdengar dari mulutnya. "Makasih Ban, lo udah jadiin gue alasan lo, untuk bertahan, tapi ini belum waktunya lo tau. Gue berterima kasih banget sama lo, yang selalu dukung gue dalam segala hal. Makasih udah jadi teman gue, dan makasih udah mau berbagi kisah sama gue," ucapnya lirih.

Bani berjalan, mendekati Kaira. Namun, Kaira malah pergi. Meninggalkan Bani seorang diri di taman.

"Ah, sial. Kenapa lo gini sih, Ra?" Bani merasa tidak tenang. Ia merasa bersalah jika, temannya terluka. Apalagi Kaira tidak pernah terbuka dengan siapapun.

***

Setelah menemui Bani, Kaira memutuskan untuk ke toilet, ia berbohong pergi ke kantin. Gadis itu justru menangis. "Kenapa gue? Gue capek, gue gak pernah nyalahin takdir hidup gue. Tapi, kenapa gue gak bisa bahagia? Kenapa?!" ia mencurahkan segalanya. Bahkan ia tidak berpikir bahwa suaranya akan terdengar oleh orang lain.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang