27. Terungkap

17 1 0
                                    

Namun, Mamah malah mengalihkan pembicaraan. Padahal, Kaira sudah menunggu jawaban dari Mamahnya. "Udah malam, tidur. Besok kamu kan sekolah, Kaira. Dan untuk kamu, Maira. Udah, jangan dibahas lagi. Mamah mohon," pinta wanita itu.

"Gak bisa gitu dong, Mah. Kaira itu be—"

"Maira, stop!"

Maria dan Kaira diam, ketika mendengar suara Mamah meninggi. Hal yang tidak pernah wanita itu lakukan selama ini.  Terpaksa ia lakukan, ia hanya tidak ingin kedua putrinya bertengkar terus.

"Mah," panggil Kaira lirih.

Mamah langsung pergi begitu saja, tidak mendengarkan panggilan dari putri bungsunya.

"Semua ini, gara-gara lo, anak pungut!!"

"Maksud lo, apa sih kak? Kenapa, lo sebenci itu sama gue? Salah gue apa sama lo?"

Maira tersenyum miring. "Salah lo, udah hadir di sini. Lo ngubah semua kebahagiaan gue, semenjak ada lo, mamah harus bagi kasih sayangnya. Lo tau sendiri, kalo gue gak suka berbagi perhatian. Tapi, kenapa lo, selalu nyari perhatian sama mamah? Harusnya, lo gak lahir di dunia ini."

Kaira diam, seluruh badannya kaku. Kehadirannya, benar-benar tidak diinginkan.

"Maaf, kalo gue udah ambil semua kebahagiaan lo. Tapi, lo gak pernah tau, gimana gue berusaha untuk dekat sama lo, pengen berbagi segala hal dengan lo, tapi lo malah menolaknya mentah-mentah, tanpa ingin mendengarkan penjelasan gue. Salah ya Kak, kalo gue pengen kita bisa akrab?"

"Salah, karena lo itu, bukan anak kandung mamah sama papah. Lo bukan adik gue, Kaira!"

Boom!

Bagaikan didorong ke dalam jurang yang berduri. Sesakit itu rasanya, saat mendengarkan kenyataan yang sesungguhnya.

"Lo bohong kan, Kak? Pasti lo, bohong. Gak mungkin, apa karena lo benci sama gue, lo jadi ngomong kayak gitu?" Kaira berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, ia tertawa hambar saat mengatakan hal itu.

"Gue gak bohong, gue gak suka sama kebohongan. Kalo lo, gak percaya. Tanya aja sendiri sama mamah, harusnya sih, lo bersyukur udah dirawat sampe sebesar ini. Tapi, lo malah gak tau diri," kata Maira. Ia berucap demikian tanpa memikirkan perasaan adiknya.

"Gak, lo bohong. Semua ini gak benar!" Kaira berlari menuju kamarnya.

Malam ini, ia benar-benar menumpahkan segala kekesalan yang selalu ia tahan. Gadis itu masuk ke kamar mandi. Tempat yang selalu menyimpan rahasianya selama ini.

Saat tangannya hendak mengambil benda tajam itu, Kaira tersadar akan janjinya. Bahwa ia tidak akan menyakiti dirinya lagi. Luka-luka yang waktu itu pun, belum sembuh total. Masih ada jejak darah di sana, meskipun sudah mengering.

"Gue, gak boleh ingkarin janji gue. Gue udah mulai pulih dari sakit gue, gue gak akan ngelampiasin ke tubuh gue lagi. Mau berapa banyak goresan yang akan gue ciptakan? Dan harus berapa lama gue bisa sembuh? Gue harus stop. Gue harus bisa terbuka dengan teman-teman gue, mereka gak akan biarin gue sendiri kan? Mereka pasti ada."

Kaira mengambil pisau kecil itu, lalu ia memasukkannya ke dalam pelastik hitam, dan membuangnya. Ia tidak ingin menyimpan benda-benda itu lagi, bahkan ia merapihkan kamar mandi serta kasurnya.

"Gue harus berubah mulai sekarang, menangis sesekali gak papa. Tapi jangan melukai diri lagi." Kaira menghelai napas panjang. "Oke, Kaira. Lo harus bisa, lo harus percaya sama diri lo sendiri dan teman-teman lo. Lo harus bisa berbagi cerita sama Astrid, dia sahabat lo," gumamnya.

Kini Kaira telah berhasil tidak menyayat lengannya lagi. Ia pun berusaha untuk percaya kepada teman-temannya.

Tidak mudah untuk keluar dari jurang hitam itu. Seperti iman yang selalu naik turun. Begitupun orang yang telah masuk ke dalam lembah hitam yang ia buat sendiri. Tanpa ada kemauan untuk pulih, ia tidak akan pernah keluar dari zona nyaman itu. Ia akan selalu berada di sana.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang