Setelah pertengkaran itu, Kaira keluar. Meninggalkan kedua orang tuanya. Bahkan saat kakaknya menatapnya sinis, ia tidak peduli. Ia sudah lelah menuruti kemauan orang lain, ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
Kaira hanya menghindari, agar ia tidak melukai dirinya lagi. Ia sudah berjanji untuk sembuh, ia akan kembalikan mentalnya yang rusak. Ia tidak ingin saat marah masuk ke dalam kamar, karena itu akan membuatnya kembali terluka.
Saat sudah di luar, Kaira berjalan menjauh dari rumahnya. Ia langsung menghubungi Bani, entah mengapa ia malah menekan nomor Bani. Padahal ia malas bertemu dengan lelaki itu. Tidak butuh waktu lama, Bani sudah datang menjemputnya. Semenjak lelaki itu mengungkapkan tentang perasaannya, ia selalu takut terjadi sesuatu dengan Kaira.
"Hai, Koala," sapa Bani. Kaira yang sedang berdiri, menoleh. Matanya sudah dibasahi oleh air mata. Ia benar-benar lelah, tapi ia tidak bisa menyerah. Ada mimpi yang harus ia raih.
"Bani," ucapnya lirih. Kaira menatap Bani dengan lekat.
"Lo kenapa?" Kok nangis? Ada yang jahatin lo?" Kaira terus menggeleng saat Bani menanyakan dirinya.
"Gue, gak papa."
Bani menghelai napas panjang. Meraih pucuk kepala Kaira, mengelusnya dengan hangat. "Ra, jangan pernah bohongi diri sendiri, jangan selalu merasa kalo, lo kuat. Lo berhak bahagia, tuangkan segala isi hati lo. Jangan nyakitin diri sendiri," kalimat itu tidak jauh seperti apa yang Heru katakan waktu itu.
Kaira menundukkan kepalanya, ia kembali menangis. Bahkan, banyak orang lain yang memikirkan tentang kesehatannya, sedangkan ia malah menyakitinya. Kaira merasa bersalah, sebenarnya ia juga tidak ingin seperti ini. Tetapi, keadaan yang membuatnya mencari pelarian.
"Maaf, gue emang jahat sama diri sendiri, gue gak bisa jadi diri sendiri. Percuma gue bisa memahami orang lain, sedangkan gue, gak bisa memahami diri sendiri," ucapnya.
Bani mencoba menenangkan Kaira. "Gak semua orang bisa memahami kita. Terkadang, orang lain hanya ingin dihargai tanpa bisa menghargai, ingin dipahami tanpa bisa memahami kembali. Dan gak ada yang tulus mencintai lo, selain diri lo sendiri. Cobalah untuk love yourself."
Kaira terkejut dengan kalimat yang baru saja Bani ucapkan. Seperti banyak perubahan pada diri lelaki itu. Ia bukan Bani yang dulu, yang selalu mencari solusi dari orang lain. Sekarang, pikirannya mulai terbuka, apakah ia sudah ikhlas akan takdirnya?
"Bani, lo, kok ...."
"Kenapa? Kaget ya? Semua ini karena lo, Ra. Semenjak gue ngerasa jauh dari lo, gue selalu berpikir. Gak selamanya orang yang selalu mendengarkan kita ada di samping kita. Ada kalanya mereka pergi. Gue cuman membiasakan diri untuk tidak bergantung dengan siapapun. Lo, selalu mendorong gue untuk berubah, akhirnya. Gue udah berubah, gue gak lagi ngeluh. Makasih ya, Ra. Lo, udah jadi obat untuk gue, jadi mulai sekarang. Izinin gue jadi obat atas luka-luka lo."
"Makasih ya, Ban. Tapi ...."
"Ah, gak ada tapi-tapian. Sekarang kita ke rumah Hasan yok. Eh, tapi ke rumah gue dulu ya. Ambil jaket, hari dingin. Lo gak bisa keluar, dengan baju lengan pendek gini."
Sungguh perhatian.
Keduanya berjalan menuju kediaman Bani. Kaira mulai merasa tenang, gadis itu memeluk Bani dari belakang, meletakan kepalanya dipundak lelaki itu. Bani pun membiarkan Kaira tenang dengan pikirannya. Tidak ingin menganggu.
Rumah Bani dan Kaira memang tidak terlalu jauh, hanya memerlukan waktu 5 menit untuk sampai.
"Ra, ayo turun. Udah sampe." Kaira tersadar dengan suara lelaki itu. Ia lekas turun dari motor Bani, menatapi rumah bernuansa krim itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahami Aku! (End)
Teen FictionWarning ⚠️ bijaklah dalam membaca! Sebelum baca, alangkah baiknya follow akun aing terlebih dahulu, terima kasih 🤗 Bagaimana jika seorang gadis memiliki mimpi untuk hidup bahagia. Namun, ia malah menyimpan banyak luka. Kehidupan yang ia alami, tida...