8. Festival Sekolah

24 4 0
                                    

Pagi ini, Kaira menghias dirinya, agar tidak terlalu pucat. Ia sedikit menambahkan lipbalm, dan menaburi bedak pada wajahnya. Setelah selesai,  Kaira turun ke bawah. Saat tiba di sana, ia bertemu dengan kedua orang tuannya. Kali ini, Kaira tidak telat. Ia bangun lebih awal, dan bersiap-siap lebih awal juga. Akhirnya, momen yang ditunggu-tunggu, terjadi. Dengan perasaan gembira ia menyapa kedua orang tuanya.

"Pagi, Mah, Pah," sapanya.

"Pagi sayang, ayo makan." Kaira tersenyum. Kalimat yang sudah jarang ia dengar. Dan, hari ini ia dengar kembali. Masih ada kehangatan dalam diri Mamah. Sedangkan Papah ..., sikapnya berubah begitu saja. Setelah kepergian kakaknya. Meskipun begitu, Kaira masih menghormati Papahnya. Mau bagaimanapun, Papah tetap orang tuannya.

Ketika Kaira, mendaratkan bokongnya. Papah beranjak dari duduknya. "Papah duluan," pamitnya.

"Pah—" bahkan, Papah tidak menghiraukan suara Mamah. Kaira masih  tersenyuman, meskipun hatinya perih. Seperti tersayat pisau.

"Mah, mungkin papah ada urusan. Kita sarapan yok," ajak Kaira. Mamah tersenyum kepada Kaira. Wanita itu pun, melanjutkan sarapannya.

Selesai sarapan, Kaira pamit kepada Mamah. Hari ini, wanita itu memutuskan untuk berangkat ke butik, agak siangan. Ia sengaja, karena ia ingin sarapan dengan putrinya. "Mah, Kaira pergi dulu ya," pamitnya. Kaira, mencium punggung tangan Mamah.

"Iya, kamu hati-hati ya." Kaira tersenyum.  Sampai sosoknya menjauh.

Kaira berdiri di depan pagar rumahnya, hari ini. Ia dan Bani janjian untuk berangkat bareng. "Mana sih Bani, lama banget," gerutunya.

Tak lama ia berbicara seperti itu, sosok yang ia tunggu-tunggu datang juga. "Hai, selamat pagi Koala. Nunggu lama ya, lo?"

"Apaan sih lo, Kunyuk, udah deh. Gak usah nyari masalah. Masih pagi," peringat Kaira.

"Iya deh, yoklah naik!" Kaira pun naik ke atas motor milik Bani. Setelah memastikan Kaira sudah duduk. Bani langsung menancapkan gas motornya.

Saat di perjalanan, mereka berdua terjebak macet. "Ya elah, pake macet segala. Udah kesiangan nih," gumam Kaira.

"Sabar napa, Ra, namanya juga Jakarta."

"Cari jalan tikus, Ban," seru Kaira.

"Yakin, lo?" tanya Bani memastikan.

"Iya, daripada kita berdua telat. Lo, tau sendiri Heru gimana, telat dikit aja. Aduh, gue gak tahan dengar dia ngomel," keluh Kaira.

Heru memang terkenal dengan kedisiplinan, konsisten, dan memegang teguh komitmen. Baginya, waktu itu berharga, hanya orang-orangan yang tidak ingin sukses  mengulur-ulur waktu.

"Ya, udah, iya. Lo, siap-siap ya, jalannya rada ekstrim," ucap Bani. Kaira sudah tidak mempedulikan ucapan Bani lagi.

Sekitar 10 menit, akhirnya mereka sampai juga. Di sepanjang jalan, Kaira mengumpat habis-habisan. Karena, Bani membawanya menuju maut. "Sialan lo, kalo mau mati jangan ngajak-ngajak gue, untung gue gak punya riwayat penyakit jantung. Coba kalo, ada—" belum sempat Kaira menuntaskan kalimatnya. Bani, sudah menyambarnya terlebih dahulu.

"Bisa matilah, elo. Makan ayam gue," sambung Bani.

"Emang teman sialan lo, Ban," umpat Kaira.Melihat Kaira Marah, Bani malah menjulurkan lidahnya.

Ketika keduanya berada di parkiran. Heru dan Hasan menghampiri mereka. "Kalian abis dari mana? Kenapa telat? Ini udah jam berapa?" bagaikan kepergok ingin bolos. Setegas itu, Heru saat bertugas.

"Maaf, tadi kita kejebak macet," Kaira mencoba menjelaskan. Tapi, Heru bukan tipikal orang yang mau mendengarkan alasan klasik.

"Siapa suruh datang siang? Udah tau, Jakarta suka macet kalo pagi, kalian itu penanggung jawab. Harusnya bisa kejar waktu," omel Heru.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang