15. Luka Baru

30 2 0
                                    

Kaira meraih telapak tangan Heru, menggenggamnya. Tanpa sadar, Kaira menangis. "Sory, gue udah buka lembaran yang udah lo tutup dengan rapih," maafnya. Heru mengusap pundak Kaira, menyeka air mata gadis itu.

"Gak papa, Ra. Mungkin udah saatnya orang lain tau tentang gue. Karena gue yakin, di balik semua ujian yang telah Tuhan berikan. Ada sebuah hadiah, yang telah Ia persiapankan."

Tiba-tiba, pesanan mereka sudah datang. Heru pun menyuruh Kaira makan. "Makan, Ra. Gak usah dipikirin. Gue gak papa kok, seengaknya, gue tau apa itu kasih sayang. Walaupun, gue taunya dari orang lain. Karena, gue udah anggap bu Irma kayak ibu gue sendiri," balas Heru.

Sebelum Kaira menyuapkan nasi itu ke mulutnya. Ia kembali bertanya, "Ru, apa teman-teman lo tau soal ini?"

"Mereka cuman tau, kalo orang tua gue udah gak ada. Dan gue tinggal sama kakek gue, menurut gue, dengan mereka tau sedikit tentang gue. Itu udah cukup, senggaknya, mereka mau terima gue apa adanya, dalam hal berteman gak pilih-pilih," jelas Heru. "Udah ah, makan. Entar lo pulang kemalaman," lanjutnya.

Mereka pun melanjutkan makan mereka.  Setelah selesai, Heru segera mengantarkan Kaira pulang.

Malam ini, menjadi malam yang panjang untuk Kaira. Ia mendapatkan banyak pelajaran yang sebelumnya tidak ia ketahui. Namun, kebahagiaannya hanya sementara. Setelah kepergian Heru, ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke rumah. Tetapi, belum sempat ia mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka lebar.

"Dari mana kamu? Kenapa baru pulang? Ada anak sekolah pulangnya malam, ha?!" itu suara Papah. Sudah lama pria itu tidak bersuara, malam ini, ia kembali mengeluarkan suaranya. Tapi, bukan suara lembut yang kelaur dari mulutnya, melainkan pertanyaan dan suara yang lantang.

"Aku, ha-bi-s kerja kelompok, Pah," ucap Kaira terbata-bata. Namun, Papah tidak ingin mendengarkan alasan putrinya.

"Masuk!!"

Kaira terkejut, selama ini. Ia tidak pernah dibentak oleh Papahnya. Ini kali pertamanya.

Mendengar kegaduhan, Mamah keluar. "Ini ada apa sih? Kenapa ribut-ribut?"

"Liat tuh, anak kesayangan kamu. Anak gadis pulang malam, mau jadi apa kamu? Oh, apa kamu mau jadi kayak cewek-cewek di club malam ha?! Kamu sama aja kayak—" Papah belum selesai dengan ucapannya. Sebuah tamparan di pipinya mendarat begitu saja.

"Mas, cukup! Kaira, masuk ke kamar kamu. Cepat!" perintah Mamah.

Kaira lekas masuk ke kamarnya, lagi-lagi ia menangis. Bahkan, suara gaduh di luar sana tidak dapat ia dengar. Kaira melepaskan tasnya, melemparkannya kesembarang tempat. Ia masuk ke kamar mandi, tanpa menganti pakiannya terlebih dahulu.

Beberapa hari yang lalu, Kaira memasang pengedap suara di dalam kamar mandinya. Tempat itu, menjadi wadah untuk ia menangis. Berteriak sepuasnya, tanpa takut ada orang lain yang mendengarnya.

Sebuah pisau kecil berada digenggaman. Ia kembali menyayat lengannya, padahal masih ada luka  goresan kemarin. Entah mengapa, dengan melakukan itu, ia merasa nyaman. Rasa sakit di dadanya, seakan pindah. Memang, itu terasa sakit, tapi hanya sebentar. Rasa sakitnya akan hilang, setelah Kaira memberikan obat merah dan membalutnya dengan perban. Bahkan, Kaira tahu, bahwa itu berbahaya untuk dirinya. Namun, itu sudah menjadi obat untuk luka batinnya.

"Kenapa terjadi lagi? Setelah sekian lama, gue gak dengar suaranya. Kata, orang, cinta pertama anak perempuan itu ayahnya. Tapi, kenapa enggak untuk gue? Kenapa papah, jahat sama gue? Salah gue apa? Kenapa dia gak bisa memperlakukan gue, kayak dia memperlakukan kak Maira? Kenapa?" teriaknya. Baru saja ia mendapatkan kebahagiaan. Saat pulang, ia harus kembali mendapatkan sebuah luka. Luka yang ia ciptakan sendiri, demi ketenangan dirinya.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang