21. Kenapa Harus Aku?

21 2 2
                                    

Setelah bersenang-senang dengan Astrid. Kaira lekas pulang, ia takut jika orang tuanya datang lebih awal darinya. Ia tidak ingin mendengarkan keributan lagi.

Saat mereka bingung harus pergi dengan siapa, Bani dan teman-teman masih berada di parkiran. Kaira langsung menghampiri mereka, dan mengajak mereka untuk jalan-jalan. Awalnya, Hasan tidak setuju, karena ada Astrid. Namun, Heru membuat lelaki itu yakin. Bahwa Astrid tidak semenyebalkan yang ia kira. Mereka pun pergi ke taman, berkeliling mall, dan terakhir makan es krim bareng, baru setelah itu pulang.

Kaira mengendap-endap masuk ke rumahnya, ia berjalan dengan pelan. "Kayaknya sepi nih, langsung ke kamar ah."

Namun, saat ia hendak masuk kamar, terlihat seseorang yang tengah bersantai di depan ruang televisi. "Oh, jadi gini kelakuan anak kesayangan mamah? Lebih buruk dari gue, ya," ucapnya. Suara itu seperti tidak asing bagi Kaira. Ia pun menoleh kesumber suara.

"Kak, Maira. Kakak, kapan datangnya?" Kaira sangat bahagia, akhirnya kakaknya kembali lagi.

"Gak usah dekat-dekat gue!" bentaknya. Kaira terkejut, kakaknya masih menjadi pribadi yang suka marah-marah dan membenci dirinya.

"Kak, Kaira cuman pengen pel—" kalimat yang Kaira lontarkan dihentikan sang kakak.

"Sory, lo gak berhak peluk gue, apalagi sampe lo berani sentuh gue!" gadis itu terus-menerus memarahi adiknya. Tidak ada kedewasaan dalam dirinya, ia masih seperti kekanak-kanakkan, yang baru merasakan pubertas. Padahal, umurnya sudah 21 tahun.

"Kak," panggilnya lirih.

Sang kakak tidak memperdulikan panggilan adiknya, ia justru pergi meninggalkan Kaira seorang diri.

"Kenapa gini sih? Salah gue apa?"

Hatinya sakit, ia selalu ingin menjadi yang terbaik, tetapi ia selalu saja salah. Tidak berpikir panjang, ia lari ke dalam kamar mandinya. Kembali mengeluarkan pisau kecil dari laci, perlahan ia menyayat pergelangan tangannya secara pelan-pelan. Ia memejamkan mata, mengingat kebahagiaannya dulu. Tiba-tiba air matanya terjatuh. Di dalam kamar mandi yang kedap suara, ia berteriak sambil menangis. Menuangkan segala isi hatinya.

"Tuhan, kenapa harus aku yang berada diposisi ini? Aku capek," keluhnya. Ia tidak ingin mengeluh, tetapi, sakit rasanya jika ia memendamnya seorang diri.

Sekitar 30 menit ia berada di dalam kamar mandi. Akhirnya ia pun keluar, dengan darah segar melekat dipergelangan tangannya. Ia menuju meja rias, mencari obat luka yang biasa ia kenakan. "Maaf ya, aku terlalu egois untuk merusak anggota tubuhku demi ketenangan hatiku. Aku janji, nanti,  kalo aku udah sembuh, aku gak akan buat kamu luka lagi," seperti sedang berbicara pada seseorang. Ia meminta maaf pada lengan yang selalu ia jadikan pelampiasan.

Kulitnya yang putih, mulus. Kini sudah terlukis dengan goresan luka. Ia selalu menutupi tubuhnya dengan jaket, agar luka itu tidak terlihat oleh orang lain.

Setelah selesai membalut lukanya, Kaira kembali ke meja belajar, mencari buku diary. Menuliskan semua tentang isi hatinya selama ini, mungkin sekarang ia sudah mulai percaya kepada teman-temannya, tapi tidak sepenuhnya. Ia masih percaya pada buku yang tidak akan bicara pada siapapun. Buku yang akan menyimpan rahasianya dengan baik. Tinta hitam itu sudah mengoreskan warnanya ke dalam buku  putih usang. Bait-bait aksara terukir jelas di sana, sesekali saat menulis Kaira menangis. Tidak ada yang tahu seberapa terlukanya ia, tidak ada yang bisa memahami dirinya. Ia selalu dituntut untuk bisa memahami orang lain.

"Oke, selesai. Kaira, jangan nangis lagi. Lo kuat," ia berusaha memberikan semangat pada dirinya sendiri. Hal yang paling berharga ialah, mencintai diri sendiri, dan berdamai dengan luka. "Sekarang lo tidur, karena besok lo harus bangun pagi. Kalo sampe telat, lo bisa kena omel Bani lagi," ujarnya. Kaira menyuruh Bani lagi untuk menyusul dirinya. Itu ia lakukan, demi keselamatan dirinya saat berkendara. Karena, akhir-akhir ini, Kaira suka melamun.

Pahami Aku! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang