Chapter 2

14.3K 1.3K 22
                                    

©Claeria


"Hah? Lo nggak jadi datang ke acara reuni?!"

Runa menjauhkan ponselnya dari telinga, pekikan Monica dari seberang sana sukses membuat telinganya berdenging.

"Sorry banget, Mon. Gue beneran lupa kalau hari ini ada acara arisan keluarga, rumah gue kebagian giliran," sesal Runa.

Andai saja dia bisa memilih, Runa tentu akan memilih menghadiri acara reuni dan menghabiskan waktu mengenang masa kuliah bersama teman-temannya ketimbang hadir di acara arisan dan meladeni om tantenya yang luar biasa bawel dan kepo. Sayangnya, Runa belum siap menjadi bulan-bulanan keluarga dan dicap sebagai anak kurang ajar.

"Yahhhh, nggak seru dong! Nyusul aja abis acara di rumah lo selesai, gimana?" Monica menyarankan.

"Gue usahain ya, soalnya nggak ada yang bantu nyokap sama adik gue beres-beres di rumah."

Monica terdiam sejenak sebelum lalu bertanya setengah menuduh. "Ini lo beneran ikut acara keluarga kan? Bukan pura-pura ada acara keluarga tapi ternyata malah kerja?"

"Ya nggak lah! Gue udah berhenti kerja di weekend kok!" protes Runa.

"Bagus lah, biar lo jangan sampe pingsan dan diopname lagi di rumah sakit karena kecapekan!"

Runa meringis mendengar sindiran sahabatnya itu. Dia masih ingat pernah jatuh pingsan saat mereka makan siang bersama. Alasannya tidak lain karena Runa menghabiskan waktu seminggu penuh untuk bekerja hingga larut malam, bahkan hari Sabtu dan Minggu. Alhasil, dia tumbang di hari Senin.

Sebelum kesadarannya menghilang, Runa ingat ia mendengar jeritan Monica. Begitu ia tersadar di ruang UGD rumah sakit, ibunya sudah ada di sisi tempat tidur, menangis tanpa henti. Sejak itu Runa bertobat, tidak mau lagi menghabiskan akhir pekan untuk bekerja.

"Baru kemarin Arlan yang izin nggak datang karena ada kerjaan, sekarang lo. Dasar kalian para workaholic ini janjian apa gimana?" gerutu Monica, membuyarkan lamunan Runa.

"Arlan juga nggak datang?" alis Runa terangkat naik.

"Nggak, katanya jadwal syuting dia diganti jadi hari ini," jawab Monica.

Ya, benar. Kalau Tata tahu, dia pasti akan menjerit histeris, tidak akan menyangka bahwa Runa dan William Arlan yang dia agungkan adalah teman seangkatan saat mengenyam pendidikan sarjana Teknik kimia di Bandung.

Runa juga tidak akan bercerita ke siapapun kalau tidak ditanya, dia tidak ingin mendapatkan gempuran pertanyaan tentang Arlan. Kalau Runa bilang dulu Arlan culun dan kutu buku, pasti tidak akan ada yang percaya. Kalau dia bercerita bahwa dulu dia dan Arlan bersaing untuk mendapatkan title mahasiswa terbaik di angkatan mereka, wah sudah pasti Runa akan disangka berhalusinasi. Sok kenal dan sok dekat dengan aktor populer itu.

"Padahal kalau dia datang gue mau minta foto bareng biar orang kantor gue percaya kalau gue seangkatan dan kenal sama the William Arlan waktu kuliah," Monica menggerutu, terdengar sedih.

Runa terkekeh. "Arlan tau niat busuk lo makanya dia nggak jadi datang."

"Sialan!"

Runa baru akan kembali meledek ketika pintu kamarnya diketuk pelan. Tak lama pintu lalu terbuka, Kartika menjulurkan kepalanya dari balik pintu.

"Runa, masih lama?" tanya Kartika tanpa suara, tidak ingin suaranya didengar oleh orang di seberang sambungan telepon.

"Oh iya, sebentar, Ma," bisik Runa, membuat sang ibu kembali menutup pintu.

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang