©Claeria
Arlan tidak pernah suka berkunjung ke rumah kakek neneknya. Tidak, Arlan tidak membenci mereka. Namun, energinya selalu tersedot habis setelah berkunjung. Alasannya tidak lain karena ia harus bersabar mendengarkan ocehan sang kakek, memaksakan diri untuk tersenyum walau sebenarnya muak diceramahi, dan mengingatkan diri untuk terus bersikap sopan.
Oleh karena itu, Arlan tidak pernah berkunjung kalau tidak terpaksa. Kalau terpaksa pun, ia selalu datang mepet dan tidak pernah antusias. Namun, Arlan terheran melihat reaksi Runa. Berbanding terbalik dengannya, sejak diberitahu dua hari yang lalu bahwa mereka akan berkunjung ke rumah Eyang, Runa sibuk bersiap. Tidak hanya membeli baju baru, ia juga sibuk di dapur, dibantu Bi Yati dan Bi Inah.
Arlan menyipitkan mata melihat buah karya Runa di meja makan, tepat sebelum mereka berangkat. Tiga botol besar jamu dan seloyang puding mangga.
"Kalau kita mau pergi perang, kita harus punya amunisi yang cukup, Arlan!" begitu jawaban Runa ketika Arlan bertanya tentang hasil karyanya.
Arlan tidak mengerti. Jika Runa ingin berperang dengan Eyang, ia hanya perlu mendebat Eyang seperti yang ia lakukan ketika pertama kali berkunjung. Buat apa sibuk-sibuk memasak?
Runa memutar bola mata dan menjelaskan, "Kita akan ketemu cucu kesayangan Eyang di sana. Sementara itu, Eyang nggak suka sama kamu. Jadi kita harus kasih effort lebih untuk merebut hatinya! Nggak boleh kalah saing!"
Arlan baru paham maksud Runa ketika mereka sudah duduk di meja makan rumah Eyang. Ada Eyang, Eyang Uti, Shaga, kedua orang tua Shaga, dan juga kedua orang tua Arlan di sana. Pertemuan mereka malam ini memang untuk membahas kerjasama yang ditawarkan Gaia Food untuk menjadikan Arlan brand ambassador terbarunya.
Eyang Uti yang mengetahui rencana Shaga memaksa agar mereka membahasnya sambil makan malam bersama, sekaligus melepas rindu karena lama tak bertemu. Situasi ini tidak menguntungkan bagi Arlan. Cucu yang paling dibenci duduk bersama cucu yang paling disayang. Arlan akan menjadi sasaran empuk Eyang malam ini.
Ketika melihat Shaga, cucu pertama keluarga Adhinata, Runa mendadak lupa akan rencananya. Ia melongo di sebelah Arlan, terpesona akan Shaga yang tidak kalah tampan dari suaminya. Rambut Shaga hitam dan tebal. Matanya yang bulat dibingkai bulu mata yang lentik. Shaga memiliki tatapan yang sama tajamnya seperti Arlan, tetapi dia terkesan lebih intimidatif. Seolah dia mampu membuat siapa pun bertekuk lutut di hadapannya. Mungkin karena dia sudah terbiasa memimpin banyak orang di Gaia Food?
Kalau lengannya tidak disenggol oleh Arlan, Runa mungkin akan mengagumi Shaga sampai makan malam selesai. Sejak dulu Runa memang ngefans dengan Shaga yang pernah menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa. Ia bahkan bertanya-tanya, seperti apa perempuan yang berhasil menjadi istrinya. Sayangnya, Shaga tidak datang bersama sang istri. Kata Arlan, istri Shaga sedang di luar negeri dan Runa dilarang membahas itu di depan Shaga. Entah kenapa, mungkin hubungan mereka tidak baik.
"Masih sempat datang juga, Lan?" suara Eyang membuyarkan lamunan Runa.
Pria tua bertubuh bungkuk itu duduk di ujung meja makan. Dengan nada sinis, Eyang lanjut menyindir. "Kirain sibuk syuting sinetron nggak jelas!"
Runa melirik Arlan. Seperti biasa, dia hanya diam, membiarkan sindiran Eyang masuk lewat kuping kiri dan keluar lewat kuping kanan. Namun, Runa menyadari tangan Arlan mengepal di atas meja. Meski tidak melawan, bukan berarti Arlan tidak tersinggung.
Apa ini saatnya Runa turun tangan?
Sejurus kemudian, Runa memeluk mesra lengan Arlan dan menjawab dengan ceria. "Tentu sempat dong, Eyang! Arlan bahkan udah kasih tahu aku dari jauh hari tentang makan malam ini. Ya kan, Sayang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Job Offer: Wifey
Literatura FemininaMendadak kehilangan pekerjaannya, Runa Anantari kini sah menjadi orang paling memprihatinkan di keluarganya. Berusia tiga puluh tahun, jomblo, ditambah lagi pengangguran. Namun, dunia Runa dibuat jungkir balik ketika William Arlan, aktor paling nget...