Chapter 22

10.5K 1.4K 79
                                    

©Claeria


"Beneran nggak ada baju lain?"

Arlan melipat tangan di dada. Matanya memicing menatap Runa yang duduk di meja rias dikelilingi Latifah, Paula, dan dua orang asisten butik Hesti Wicaksana. Paula dan Latifah hanya melirik sekilas sebelum kompak memutar bola mata dengan malas. Ini sudah kelima kalinya Arlan bertanya.

Malam ini, Runa akan mendampingi Arlan menghadiri Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia di Jakarta Convention Center. Seperti biasa, Arlan menyerahkan urusan outfit kepada butik ibunya. Namun, matanya hampir melompat keluar ketika melihat Runa keluar dari ruang ganti. Gaun panjang berwarna hitam dengan punggung terbuka memeluk lekuk tubuh Runa dengan sempurna.

"Or can you girls do something about it? Diakalin gimana gitu kek, atau ditutupin," keluh Arlan lagi.

Dia sempat mengusulkan agar Runa menggerai rambutnya ke belakang untuk menutupi punggungnya, tapi ditolak Latifah mentah-mentah. Latifah dan timnya sudah menghabiskan waktu sejam untuk menata rambut Runa yang disisir ke samping dan mereka tidak sudi mengubahnya lagi.

"Kalau mau protes, bilang sama nyokap lo lah, Lan! Kan Beliau yang bikin bajunya," balas Paula akhirnya, tidak tahan dengan ocehan Arlan yang menurutnya tidak masuk akal.

Arlan sudah sering melihat selebriti mengenakan gaun dengan potongan lebih terbuka dan dia tidak pernah berkomentar apapun. Giliran Runa yang pakai dia mendadak berubah menjadi laki-laki kolot!

Runa yang baru saja selesai didandani lalu menengok ke arah Arlan dengan raut khawatir. "Aku nggak cocok pakai baju ini ya, Lan?"

Arlan tidak menjawab, melainkan memalingkan wajahnya.

"Kelihatan gendut ya?" desak Runa.

Arlan berdecak dan mengusap lehernya canggung. "Bukan gitu!"

"Terus?"

"Atau lo nggak suka punggung istri lo dilihat sama orang lain?" timpal Evan yang memerhatikan dari pinggir ruangan. Mulutnya sudah gatal ingin meledek sejak tadi.

Mendengar komentar Evan, Latifah langsung cekikikan. "Ya ampun, ngomong dong dari tadi, Lan!"

"Gue nggak—"

"Tapi iya sih, kalau ngeliat Runa malam ini, jangankan cowok, cewek aja pasti kepincut! You're drop dead gorgeous, girl!" potong Paula yang lalu diamini semua orang di ruangan. Dia lalu memegang kedua bahu Runa dan memutar tubuhnya hingga menghadap ke Arlan. "Cantik kan, Lan?"

Runa menggigit bibirnya gugup, menantikan komentar Arlan yang sekarang melongo menatapnya. Sayangnya, ia tidak kunjung mendengar pendapat sang suami karena Arlan buru-buru menjejalkan tangan ke saku celana dan beralih ke arah pintu. Menyembunyikan wajah dan telinganya yang memerah.

"Udah jam segini, buruan siap-siapnya. Lima menit lagi kita berangkat!" ujar Arlan tanpa menoleh. "Evan, buruan ke sini! Ngapain di sana? Nggak usah lihat-lihat!"


***


Runa mencebik sambil melirik Arlan dari ekor matanya. Sejak berangkat dari butik sampai mereka hampir tiba di lokasi acara, Arlan mengabaikannya. Meski semua orang memuji penampilan Runa malam ini, lain halnya dengan Arlan. Setelah bersungut-sungut di butik, dia tidak mengomentari penampilan Runa sama sekali. Sepanjang jalan dia fokus ke pemandangan di luar jendela, seolah ada yang menarik dari deretan mobil di tengah kemacetan Jakarta.

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang