Chapter 21

11.4K 1.4K 75
                                    

©Claeria


Sejak mampir ke tempat syuting beberapa hari lalu, Runa menyadari kalau Arlan lebih banyak diam dan mengurung diri di ruang kerja sepulang syuting.

Waktu Evan mengantar Arlan dan hendak pulang, Runa mencuri kesempatan untuk bertanya. Menurut Evan, Arlan kurang puas dengan aktingnya. Ini pertama kalinya dia membintangi drama romantis. Kata Bram sudah cukup bagus. Rasyid Amantara, sang produser, juga memberikan komentar serupa. Namun, Arlan yang dasarnya memang perfeksionis tidak sependapat.

Runa berdiri di depan pintu ruang kerja Arlan yang tertutup rapat sambil membawa nampan berisi secangkir susu hangat dan sepotong roti dengan selai cokelat. Sudah jam dua belas malam, tapi ia bisa melihat sinar lampu dari celah pintu. Runa berusaha tidak peduli, tapi tidak bisa. Arlan selalu berangkat subuh dan pulang larut untuk syuting. Kalau terus begini, bukannya membaik, justru performanya mungkin akan menurun.

Menarik napas dalam-dalam, Runa akhirnya mengetuk pintu. Setelah Arlan mengizinkan, ia masuk.

Runa jarang sekali masuk ke ruang kerja Arlan. Ia mengedarkan pandang dan mengamati isinya. Ada meja kerja di sudut ruangan dengan laptop di atasnya. Di tengah terdapat sofa yang menghadap ke televisi berukuran 50 inch. Sementara di pinggir ruangan terdapat rak buku berjejer rapi. Arlan tidak hanya menyimpan buku di sana, melainkan blu-ray disc berbagai macam film yang biasa dia tonton sebagai referensi.

Ketika Runa masuk, ia menemukan Arlan duduk di sofa. Matanya terfokus pada naskah di pangkuannya, sementara televisi memutar film Me Before You. Runa menaruh nampannya di meja lalu bergabung bersama Arlan di sofa.

"Kok belum tidur?" tanya Runa hati-hati. "Nggak capek?"

Tanpa menoleh dari naskah, Arlan menggeleng. "Masih mau baca naskah sama latihan."

Runa mengembuskan napas. Tipikal Arlan. Sejak dulu, tiap belajar kelompok menjelang ujian, mereka berdua selalu menjadi yang terakhir pulang. Ketika semua orang memilih untuk menyerah dan istirahat, mereka baru akan berhenti ketika menguasai materi sepenuhnya.

"Kalau kurang istirahat, nanti malah nggak fokus lho," bujuk Runa.

"Nggak apa-apa, udah biasa."

Masih berusaha, Runa melontarkan pendapatnya. "Akting kamu bagus kok, Lan. Aku lihat sendiri waktu aku datang ke lokasi syuting."

"Masih jauh dari ekspektasi aku, Run. Kamu lihat sendiri, waktu kamu datang, Mas Bram bilang that wasn't the best," Arlan akhirnya menoleh. Dia melepas kacamatanya dan memijat batang hidungnya sekilas sebelum mengenakannya lagi.

"Dari semua pengalaman aku, memerankan tokoh yang jatuh cinta itu salah satu yang paling sulit. Aku kira akan mudah, karena tokoh Bintang seperti kebanyakan orang pada umumnya. Dia orang biasa, punya pekerjaan biasa. Tapi ternyata nggak semudah itu," Arlan menyugar rambutnya frustrasi.

Runa tidak berkomentar. Ia memperbaiki posisi duduknya, menantikan kelanjutan cerita Arlan.

"Yang namanya akting itu, harus bisa dirasakan oleh seluruh tubuh kita. Mata kita harus bicara, gerak gerik kita, nada suara kita, semuanya harus bisa menggambarkan hidup karakternya. Aku belum sampai di titik itu," Arlan tersenyum getir menatap Runa.

"Kenapa? Kamu bahkan bisa meranin seorang tentara, petinju, sampai narapidana. Meranin cowok biasa yang jatuh cinta harusnya nggak sesusah itu."

Arlan mengangkat bahu. "Buat aku, rasa jatuh cinta nggak gampang ditiru. Mungkin karena aku kurang pengalaman, nggak tahu juga. Waktu akting sama Becca aku berusaha menempatkan diri sebagai Bintang, berusaha menganggap Becca adalah orang yang aku cintai habis-habisan." Arlan melirik sekilas ke arah Runa dan menelan ludahnya. "Tapi feel-nya tetap nggak dapat."

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang