©Claeria
Runa berjalan menyusuri ruang tamu. Ketika tiba di ujungnya, ia berbalik, kembali menyusuri hingga ujungnya yang lain, sebelum mengulangi hal yang sama terus menerus. Entah sudah berapa kali Runa mondar mandir di ruang tamu. Meski begitu, pria yang ia tunggu belum juga tiba.
Setelah pulang berbelanja dengan ibu mertuanya, yang ingin Runa lakukan hanyalah menemui Arlan dan minta maaf. Setelah dipikir-pikir, Runa sudah keterlaluan. Ia termakan asumsi dan pikiran negatifnya sendiri, kemudian menuduhkannya kepada Arlan. Mungkin Arlan memang tidak punya maksud tertentu di balik sikapnya. Bagi Runa, pemberian Arlan mungkin berlebihan, tapi bagi pria itu, nominal yang dia keluarkan bukanlah apa-apa.
Hal yang Runa sesalkan adalah mengatakan bahwa Arlan tidak memahami perasaannya karena tidak pernah kesulitan dan diremehkan sepanjang hidupnya. Halo? Apa Runa amnesia? Ia sering melihat dengan mata kepalanya sendiri cara Eyang memperlakukan Arlan. Kalah dengan emosi sesaat, ia telah melontarkan hal yang menyakiti hati Arlan.
Kira-kira setengah jam kemudian, deru mobil Arlan terdengar, diiringi suara pintu pagar dibuka. Bukannya menyambut Arlan, Runa malah lari ke ruang tengah dan buru-buru duduk di sofa. Ia tidak mau terlihat menunggu-nunggu kedatangan Arlan! Lagipula, ia tidak akan membahas pertengkaran mereka di ruang tamu. Bisa-bisa Evan dan Pak Prapto mencuri dengar.
Namun, Runa memasang telinganya. Setelah mendengar Evan dan Pak Prapto pamit, kemudian suara motor mereka terdengar menjauh, barulah ia memperbaiki posisi duduknya. Runa mengusap dadanya perlahan dan mengatur napasnya, bersiap menghadapi Arlan.
Suara langkah terdengar mendekat. Begitu melihat Arlan dari sudut matanya, Runa lantas bangkit berdiri, membuat Arlan terdiam di ujung ruangan.
Keduanya bertukar pandang, tanpa mengatakan apa-apa. Tidak hanya Runa, Arlan tampaknya punya sesuatu untuk dikatakan. Bibir keduanya sudah terbuka, hendak berucap, tapi tidak kunjung menemukan kata-kata.
"Aku—" keduanya malah bicara bersamaan ketika sudah mendapat keberanian.
Arlan lantas mengulurkan tangannya, memberi Runa giliran lebih dulu. "After you."
Runa mengangguk. Tanpa sadar, jemarinya saling meremas dan memilin satu sama lain. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata.
"Aku minta maaf, Lan," Runa menundukkan kepala. Ia menggigit bibir dan menatap Arlan lurus-lurus. "Maaf, udah marah-marah dan menuduh kamu tempo hari. Nggak seharusnya aku berburuk sangka dan ngomong sekasar itu sama kamu. Walaupun ada banyak orang yang mengasihani bahkan memandang rendah keluarga aku karena kondisi kami, tapi nggak seharusnya aku menyamakan kamu dengan mereka."
Untuk beberapa saat, Arlan berdiri dalam diam di tempatnya, mengamati wajah Runa. Dia tidak tahu kalau tatapannya membuat perut gadis itu serasa melilit. Runa lebih baik dimarahi ketimbang ditatap dalam diam seperti itu.
Runa sudah bersiap untuk diomeli Arlan, sehingga ia melonjak kaget ketika Arlan malah menghampirinya dan mengusap puncak kepalanya.
"Aku juga minta maaf," ujar Arlan, kemudian menarik tangannya dari kepala Runa. "Maaf karena nggak ngomong dulu ke kamu soal pemberian itu. Seharusnya aku diskusi dulu sama kamu dan tanya pendapat kamu. Maaf udah bikin kamu tersinggung."
Runa menggeleng kuat-kuat, menolak permintaan maaf Arlan.
"Justru aku yang udah menyinggung kamu. Aku tahu kamu punya kesulitan sendiri, kamu juga sering diremehkan dan disepelekan, tapi aku malah ngomong seenaknya, seolah aku orang yang paling menderita di dunia," lagi-lagi Runa menundukkan kepalanya. "Maaf..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Job Offer: Wifey
ChickLitMendadak kehilangan pekerjaannya, Runa Anantari kini sah menjadi orang paling memprihatinkan di keluarganya. Berusia tiga puluh tahun, jomblo, ditambah lagi pengangguran. Namun, dunia Runa dibuat jungkir balik ketika William Arlan, aktor paling nget...