©Claeria
"Menurut lo gimana, Mon?" Runa menggigit ujung sumpitnya. Kakinya menghentak-hentak tanpa sadar sementara matanya memicing menatap Monica yang duduk di seberangnya. "He was really trying to kiss me, wasn't he?"
Monica memutar bola matanya dramatis dan meletakkan sumpitnya. "Menurut lo? Dia pegang leher lo, miringin kepala, dan ngedeketin mukanya tuh mau ngapain kalau bukan mau cium lo? Mau ngeheadbutt?!" tanya Monica sewot.
Kadang Monica heran. Runa bisa menjadi sangat cerdas, tetapi juga bisa menjadi sangat lamban!
Sore ini mereka bertemu di ruang privat Sushi Tei. Sebenarnya sudah dua hari berlalu sejak Runa mengirimkan pesan untuk Monica di tengah malam, mengajak bertemu. Runa butuh teman untuk bercerita tentang malam itu! Dia butuh menerjemahkan segala emosi yang bercampur aduk di dadanya. Karena merasa bingung dengan perasaannya sendiri, Runa bahkan menghindari Arlan beberapa hari terakhir ini.
"Tapi, kenapa? Ngapain dia mau cium gue?" kening Runa berkerut. Ia kemudian melipat tangan di dada dan menganalisis. "Dia kebawa suasana kali ya?"
"You guys are into each other! It's simple, Runa! Gue yakin pasti ada benih-benih perasaan di antara kalian!" sanggah Monica tidak sabar. "Pegang omongan gue deh, nggak usah pakai acara denial segala!"
"Tapi nggak mungkin, Mon! Di antara gue sama dia nggak ada apa-apa kok!" Runa bersikeras.
Belakangan ini mereka memang lebih dekat dan tidak lagi sering bertengkar. Namun, bukan berarti ada perasaan tumbuh di antara mereka! Runa dan Arlan hanya teman lama yang sekarang terikat dalam perjanjian kerja. Itu saja!
"Ya terus apa dong? Penjelasan logis lainnya adalah hormon kalian yang bicara malam itu! Kalian lagi horny?"
Runa langsung melotot sementara Monica hanya mengangkat bahunya santai dan kembali sibuk dengan sashimi di piringnya.
"Terus abis eyangnya telpon, kalian nggak lanjutin lagi? Selesai begitu aja?" Monica lanjut bertanya.
"Iya lah!" sahut Runa. "Dia ngobrol sama Eyang Uti yang ngasih selamat, terus gue balik ke kamar."
"But seriously, Run," Monica memperbaiki posisi duduknya. Dia merapatkan tubuh mendekati Runa dan bertanya dengan tatapan menyelidik. "Lo kecewa nggak kalian batal ciuman?"
Runa terdiam. Ia melirik Monica sekilas sebelum memalingkan wajah. Pipi hingga lehernya lantas memerah dan ia buru-buru meneguk teh dingin di gelasnya. Reaksi itu tidak luput dari pengamatan Monica yang langsung tertawa puas.
"Sukurin! Kualat kan lo, sekarang naksir Arlan! Makanya kalian berdua tuh jangan kurang ajar sama Tuhan, main-mainin pernikahan kayak begitu! Rasain!" tuding Monica. Dia sudah lama menantikan momen yang tepat untuk meledek Runa. Andai Arlan ada di sini, dia juga akan menertawakan pria itu keras-keras!
"Nggak ada yang naksir Arlan!" Runa berkelit. Ia lalu mengoceh secepat kilat. "Gue sama Arlan cuma sebatas atasan dan karyawan. Malam itu kami kebawa suasana aja. Mungkin itu karena pengaruh wine dan euforia setelah dia menang penghargaan dan percakapannya cukup mellow!"
"Berhenti denial deh, Run!" Monica menghela napas. "Lagian nggak aneh kok kalau kalian saling naksir. Kalian udah kenal baik dari dulu, sekarang tinggal serumah, dan sering mesra-mesraan walau terpaksa kondisi. Arlan ganteng, lo juga cakep. Apa yang menghalangi buat ketertarikan itu tumbuh di antara kalian?"
Runa terdiam, kemudian menunduk mengaduk saladnya dengan sumpit. Jika ia benar-benar jatuh hati kepada Arlan, semua akan menjadi rumit. Pernikahan mereka hanya sebuah transaksi, kontrak dengan jangka waktu tertentu. Kalau hatinya sudah terlibat, bukankah hanya sakit yang akan tersisa ketika ini semua berakhir dan mereka harus berpisah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Job Offer: Wifey
Literatura FemininaMendadak kehilangan pekerjaannya, Runa Anantari kini sah menjadi orang paling memprihatinkan di keluarganya. Berusia tiga puluh tahun, jomblo, ditambah lagi pengangguran. Namun, dunia Runa dibuat jungkir balik ketika William Arlan, aktor paling nget...