Chapter 18

11.9K 1.5K 88
                                    

©Claeria


Runa mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia baru selesai mandi, membasuh tubuhnya yang berkeringat selepas mengikuti kelas yoga. Ketika ia masih bekerja di kantor, Runa rutin mengikuti kelas yoga, setidaknya seminggu sekali. Selain baik untuk kesehatan, yoga juga membantu Runa menenangkan pikiran dan menyingkirkan hal-hal yang menumpuk di kepala.

Sejak berhenti bekerja, Runa tidak lagi rutin mengikuti kelas. Namun, kali ini ia membutuhkan yoga. Ia perlu menata pikirannya yang belakangan ini dipenuhi oleh pria yang tidak seharusnya mampir di sana. Memikirkan atasannya sendiri adalah sebuah tindakan tidak profesional dan Runa perlu menyingkirkan pria itu dari kepalanya. Secepatnya.

Getaran aneh yang kerap mampir di dada Runa pasti disebabkan oleh situasi yang asing bagi Runa. Yang pertama, ia tinggal di bawah atap yang sama dengan seorang pria. Terlebih lagi, pria itu adalah William Arlan. Siapa yang tidak akan grogi kalau harus berpura-pura mesra dengan pria rupawan yang tutur katanya lembut, tatapannya teduh, wangi, dan— Oke, hentikan!

Yang kedua, ini pasti karena Arlan mengatakan sesuatu yang aneh beberapa hari lalu, seperti meminta Runa untuk bersandar kepadanya di saat yang sulit. Runa tidak kenal konsep itu. Bersandar kepada orang lain dan meminta bantuan kala kesulitan terasa asing bagi Runa. Ia terbiasa mengandalkan dirinya sendiri, bekerja mati-matian untuk menyelamatkan diri, entah sejak kapan. Hal itu juga dianggap biasa oleh orang-orang di sekitarnya. Mantan-mantannya saja tidak pernah berkomentar. Well, walau ujungnya kebanyakan akan mengatakan mereka merasa tidak dibutuhkan karena Runa selalu mengerjakan semuanya sendiri.

Arlan adalah orang pertama yang menawarkannya tempat bersandar dan itu membuat Runa merasa... bingung. Ia ingin menerima tawaran itu, ingin berbagi bebannya. Namun, di saat bersamaan, Runa takut untuk melakukannya. Selain karena Runa tidak pernah suka memperlihatkan sisi lemahnya, ia juga takut nantinya akan terlena dan terlalu bergantung pada orang lain. Runa harus ingat, bahwa pernikahan ini hanyalah sementara.

Runa menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pikiran yang mengganggu. Ia berguling di atas kasur dan melihat layar ponselnya. Sudah jam tujuh malam. Arlan masih belum pulang. Tadi pagi dia berpesan kepada Runa untuk tidak menyiapkan makan malam karena dia akan makan bersama para aktor dan aktris yang terlibat di film barunya. Punya waktu luang, Runa berniat memejamkan matanya sebentar. Tubuhnya terasa begitu lelah, mungkin karena terlalu lama tidak berolahraga.

Runa baru saja hendak menutup mata ketika ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Mama.

"Run, Mama mau tanya, Arlan itu suka makanan apa ya? Mama mau masakin dia sesuatu, tapi nggak tahu Arlan suka makan apa," tanya Kartika ketika mereka telah bertukar sapa.

Runa berdecak tidak percaya. "Kirain nelpon mau tanyain kabar aku, ternyata malah nanyain Arlan!"

"Sirik amat sih!" ledek Mama. Dengan nada dibuat-dibuat, Kartika bertanya. "Apa kabar anak Mama yang besok juga bakal ketemu di rumah karena ngurusin orderan?"

Runa terkekeh. Ia berdeham pelan sebelum kembali pada topik pembicaraan awal. "Buat apa Mama masakin Arlan? Kok tumben?"

"Sebagai tanda terima kasih lah. Arlan kan udah kirimin Mama uang untuk berobat dan untuk kuliah Lena juga, Mama nggak enak kalau nggak kasih apa-apa."

Mendengar jawaban ibunya, Runa sontak bangkit dari posisinya, kini duduk di atas ranjangnya. Tidak mempercayai pendengarannya sendiri, Runa mengulangi kalimat sang ibu. "Arlan kirimin Mama uang? Kapan? Berapa?"

"Iya, kira-kira tiga hari lalu dia telpon Mama. Tanya kabar, ngobrol-ngobrol, terus dia bilang dia transfer ke Mama dan—" Suara Mama perlahan terdengar menciut. Dengan was-was, Mama bertanya. "Sebentar, kamu nggak tahu soal ini?"

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang