Chapter 6

12.3K 1.3K 39
                                    

©Claeria


Runa merapatkan topi dan maskernya. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri, melihat apakah ada orang yang mungkin mengenalinya. Sejak melihat televisi tadi pagi, dia tidak bisa berhenti merasa gelisah. Runa memang tidak benci menerima perhatian, tetapi tidak untuk perhatian yang seperti ini. Satpam kompleks dan petugas parkir bahkan tampak mengenalinya, mereka memperhatikan Runa dengan kening berkerut.

Oh, bisa juga Runa hanya besar kepala. Namun, dia tetap saja tidak bisa berhenti merasa gelisah!

Setelah memastikan wajahnya tertutupi rapat-rapat oleh masker dan topi, Runa akhirnya turun dari mobil taksi online. Dengan langkah lebar dia memasuki Nectar, kafe tempat Arlan memintanya bertemu. Runa sempat khawatir akan terlihat oleh orang banyak, tetapi anehnya kafe itu benar-benar sepi. Tidak ada pengunjung lain di sana, padahal letaknya cukup strategis, di pinggir jalan utama.

"Private room atas nama Arlan," kata Runa kepada satu-satunya wanita yang berada di balik counter.

Perempuan anggun yang lebih terlihat seperti pemilik kafe itu mengamati Runa sebentar sebelum lalu tersenyum ramah.

"Silakan, Mbak, ke sebelah sini."

Runa mengikuti sang perempuan berjalan ke arah belakang kafe yang dihiasi interior dari kayu dan tanaman hijau. Langkah mereka terhenti di depan sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari kaca yang buram.

"Arlan, temannya udah datang, nih," ujar sang perempuan ceria begitu membuka pintu.

"Makasih, Mbak," balas Arlan. Pria itu lalu tersenyum melihat tingkah sang perempuan yang kini memperhatikan Runa dengan mata berbinar seolah sedang mengamati karya seni. "Mbak Sera, jangan lihatin begitu, nanti dia takut."

"Sorry, abisnya Mbak penasaran banget sama perempuan yang bisa menaklukkan seorang William Arlan. Ternyata ada perempuan yang bisa bikin bihun kering jadi lemes," Sera terkekeh.

"Ah, bukan begitu, kami—"

"Nggak usah khawatir, rahasia kalian terjamin aman. Kata orang tembok punya telinga, tapi aku bisa jamin tembok-tembok di sini tuli semua," Sera menepuk bahu Runa dan mengerling kepadanya. "Semangat, ya!"

Tanpa memberi Runa kesempatan untuk menjelaskan, Sera meninggalkan keduanya dengan senyum lebar di wajah. Runa mendadak lemas, jelas sekali wanita itu salah paham. Sama seperti semua orang, dia pasti mengira Runa dan Arlan berpacaran!

"Nggak usah khawatir. Mbak Sera itu sepupu gue, dia yang punya kafe ini. Gue udah izin buat sewa tempat ini dalam waktu dua jam ke depan. Nggak akan ada wartawan atau siapa pun yang ngenalin kita di sini," Arlan menenangkan, seolah bisa membaca semua kekhawatiran Runa.

Salah seorang Adhinata yang lain rupanya. Runa berani bertaruh seluruh keluarga besar Arlan sudah mendengar berita tentang mereka juga! Benar-benar memalukan!

"Lo nggak mau duduk?" tanya Arlan.

Runa menghela napas sebelum lalu duduk di seberang pria itu dan melepas topi serta maskernya. Di depan Arlan yang tidak mengenakan benda apapun untuk menutupi wajahnya, Runa jadi merasa dia terlalu paranoid. Atau justru Arlan yang terlalu santai?

"Tadi lo bilang 'terserah' pas gue tanya mau pesan apa di telepon, jadi gue pesenin matcha latte. Nggak apa-apa?" Arlan mendorong segelas matcha latte di atas meja ke arah Runa.

"Lo bisa-bisanya ngomongin minuman di tengah situasi kayak gini? Seriously, Lan?" Runa mengernyit menatap Arlan.

"Situasi kayak gini?"

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang