Chapter 4

14.5K 1.5K 35
                                    

©Claeria


Runa memejamkan matanya erat-erat. Dia menarik napas dan membuangnya, mengulangi proses itu berkali-kali sembari menenangkan jantungnya yang berdebar. Setelah merasa sudah cukup tenang, perlahan ia membuka mata dan membaca email di layar laptopnya.

"Terima kasih atas lamaran Anda. Mohon maaf..." Runa tidak selesai membaca dan langsung menutup laptopnya. Ia lalu meletakkan kepalanya di atas laptop dan mengerang kesal. Kakinya menghentak-hentak lantai dengan kasar.

Sungguh, Runa ingin berteriak dan mengamuk!

Tiga bulan sudah berlalu sejak peristiwa pertengkarannya dengan Pak Heru di kantor, tetapi ia masih saja belum mendapatkan pekerjaan baru. Entah sudah berapa puluh lamaran ia kirimkan, tetap saja hasilnya nihil! Sepertinya ancaman Pak Heru bukan bualan belaka, ini semua pasti karena ulahnya!

Runa meraih ponselnya dan membuka aplikasi mobile banking. Matanya menatap sendu saldo yang tertera di sana. Sudah tiga bulan angka itu terus berkurang, tanpa bertambah. Giantama Food memang membayarkan uang pesangon dan semua insentif yang Runa berhak dapatkan. Namun, Runa tahu kalau kondisinya terus stagnan begini, tidak butuh waktu lama bagi uang tabungannya semakin menipis. Itu berarti cita-citanya untuk pensiun dini dan menjadi juragan kosan semakin jauh dari genggaman.

Mata Runa mulai terasa basah, rasa kesal yang ia pendam selama tiga bulan ini mulai menumpuk di kepalanya. Runa berusaha untuk tidak menangis atau terlihat lemah di depan ibu dan adiknya, tetapi sepertinya dia sudah tidak kuat lagi.

Air mata akhirnya mengalir deras dari kedua pelupuk mata Runa. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan agar tidak mengeluarkan suara tangis yang bisa didengar oleh ibunya yang sedang duduk di ruang tengah. Kartika baru saja kembali dari tempat kerjanya, ruangan yang dibangun Runa di bagian depan rumah, tempat Kartika dan beberapa pegawainya biasa menjahit dan menerima pelanggan.

Di tengah tangisnya, ponsel Runa di atas meja berdering. Awalnya Runa tidak ingin mengangkat panggilan itu, tetapi begitu melihat nama Monica di sana, ia memutuskan untuk menjawab. Di tengah kegilaan ini, dia butuh seseorang untuk bicara.

"Babe, are you okay? Lo lagi nangis?" oceh Monica panik begitu mendengar suara Runa.

"Lamaran kerja gue nggak ada yang tembus satu pun, Mon... Babon tua mesum itu kayaknya nggak main-main sama ancaman dia..." jelas Runa di sela tangisnya.

"Mungkin memang belum rejekinya, Run... Siapa tahu abis ini ada yang tembus..."

"But it's been three months, Mon! Gue bahkan nggak ingat udah ikut berapa banyak interview, tapi semuanya selalu gagal ketika mau offering. Banyak yang tiba-tiba nge-cancel gue tanpa alasan yang jelas. Apa lagi coba penyebabnya kalau bukan karena si brengsek itu?" sanggah Runa.

Iya, Runa tahu jelas kapasitas dirinya. Dengan setumpuk prestasi dan pengalaman di CV miliknya, tidak mungkin dia tidak bisa mendapatkan satu pekerjaan pun.

"Atau mungkin... lo bisa coba fokus dulu ke usaha lo? Bundle of Joy gimana kabarnya?" Monica berusaha menenangkan.

Runa menggeleng meski Monica tidak bisa melihatnya. "Bundle of Joy masih belum bisa nutup kehilangan gaji gue, Mon. Lo tahu sebelumnya gue ngerjain itu di waktu luang aja."

"Terus sekarang gimana, Run? Lo masih ada pegangan?" suara Monica melembut.

"Untuk beberapa bulan ke depan mungkin masih cukup, tapi gue nggak tahu gimana harus ngecukupin kebutuhan nyokap sama Lena setelahnya." Runa berusaha menelan tangisnya, takut kalau-kalau terdengar dari luar.

Job Offer: WifeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang