©Claeria
Runa duduk di sofa. Meja lipat ada di atas pangkuannya, menyangga laptopnya yang terbuka. Berbagai desain baju pesta anak-anak terpampang di layar.
Ia tengah mencari inspirasi untuk desain terbaru Bundle of Joy. Sejak dulu, bekerja selalu menjadi pengalihan fokus yang ampuh bagi Runa.
Sayangnya, kali ini cara itu tidak manjur. Entah sudah berapa lama Runa memelototi layar, tetapi yang terlintas di kepalanya hanyalah perdebatannya dengan Arlan tempo hari. Meski ia menangis dan memohon, Arlan menolak permintaannya dan membuang surat pengunduran dirinya.
Runa tidak mengerti, sebenarnya apa yang Arlan inginkan? Apakah seperti sebelum-sebelumnya, dia akan mengabaikan gosip hingga reda dengan sendirinya? Namun, bagaimana dengan Runa? Jika dia memang menyayangi Runa, mengapa dia membiarkan Runa dihujam hujatan dan cacian? Bagi Arlan, hal itu mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari, tetapi bagi Runa hujatan dan cacian itu adalah racun yang perlahan membunuhnya.
Runa tenggelam dalam pikirannya sampai-sampai ia mengabaikan suara pintu rumah yang dibuka. Ia baru menoleh ketika Kartika berdeham dari arah ruang tamu.
"Runa, ada yang nyari nih," kata Kartika.
Monica muncul dari balik punggung Kartika dan tersenyum lebar. Dia mengangkat kantong plastik berisi mangkuk kertas di dalamnya. "Hai! Gue bawa rujak kesukaan lo nih."
"Kok lo ke sini di jam segini? Emangnya nggak ngantor?" tanya Runa sambil mengernyit ketika Kartika meninggalkan mereka berdua dan Monica duduk di sebelahnya.
"Gue cuti setengah hari. Tadi abis dari bank, terus gue ke sini deh. Pengen main aja. Boleh, kan?" jelas Monica sambil sibuk membuka mangkuk berisi rujak dan menuang bumbu kacang di atas tutup mangkuk.
Runa hanya geleng-geleng dan mencomot mangga muda ketika Monica menyodorkannya.
Meski tidak mengatakannya, Runa tahu Monica pasti datang karena mengkhawatirkannya. Setelah Arlan menolak permintaannya untuk berpisah, Runa mematikan ponselnya, memutus komunikasi dengan siapa pun. Ia muak melihat seluruh pemberitaan tentangnya, muak melihat pesan masuk dari orang-orang, bahkan muak melihat nama Arlan muncul di layar ponselnya. Ia hanya ingin menghilang dan melarikan diri dari dunia.
"Gimana keadaan lo, Run?" tanya Monica setelah menaruh mangkuk. Dia sempat melirik was-was sebelum bertanya. "Lo... udah ngobrol berdua sama Arlan?"
Runa tersenyum tipis. "Arlan tetap ngotot nggak mau pisah, Mon. Surat pengunduran diri gue dibuang," jawabnya dengan suara dikecilkan, tidak ingin Kartika tak sengaja mendengar topik itu. Ia tidak ingin menambah beban pikiran sang ibu.
"Arlan tuh sayang sama lo. Gue yakin dia pasti bakal berjuang buat pertahanin pernikahan kalian," ujar Monica sambil mengusap bahu Runa.
Runa mengedikkan bahu. "Buat apa juga mempertahankan gue? Nggak ada untungnya buat Arlan."
Monica menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Runa, hidup tuh nggak selalu bisa dipandang dengan untung dan rugi. Kita tahu kalau Arlan ambisius dan selalu memperhitungkan langkah yang dia ambil, tapi lo juga harus ingat kalau Arlan juga manusia biasa."
Suara Monica terdengar lembut saat menjelaskan. "Arlan punya perasaan, dia bisa jatuh cinta, dan cinta nggak memandang untung rugi."
"Arlan nggak sebodoh itu sampai membuang keuntungan dan peluang besar buat film dia cuma demi 'cinta'. Cepat atau lambat dia juga akan sadar," sanggah Runa. Ia menoreh senyum pahit di bibir. "Di sisi lain, 'cinta' cuma bikin gue tersiksa. Semua hujatan, cacian, dan kebencian orang-orang bikin gue sesak napas. Yang lebih bikin gue tercekik adalah ketika gue tahu nggak ada yang bisa gue lakukan. Kalau begini terus, gue nggak tahu bisa bertahan berapa lama. Gue nggak sekuat itu, Mon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Job Offer: Wifey
ChickLitMendadak kehilangan pekerjaannya, Runa Anantari kini sah menjadi orang paling memprihatinkan di keluarganya. Berusia tiga puluh tahun, jomblo, ditambah lagi pengangguran. Namun, dunia Runa dibuat jungkir balik ketika William Arlan, aktor paling nget...