Dari pagi, jadwal dr. Faris Alhadid, Sp. OG sangat padat. Dimulai dari memeriksa inpatient, membantu proses persalinan sampai meeting dengan spesialis neonatologi.
Beruntungnya, ia memiliki waktu bebas dari pukul empat sore sampai delapan malam sehingga daftar aktifitas pun sudah ia siapkan sejak semalam; takeaway sandwich sambil menonton film di rumah melalui layanan streaming. Bagi sebagian orang, hal itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi untuk Faris, bisa bersandar di sofa rumahnya adalah suatu kemewahan.
Ia baru saja berdiri untuk mencuci tangan di wastafel, ketika pintu ruangannya diketuk, "masuk." Jawabnya singkat
Faris menoleh dari balik pundaknya, Suster Intan berada di ambang pintu dengan wajah - sesuatu baru saja terjadi - yang sudah bisa ditebak. Oke, batalkan rencanamu, Faris. Batinnya.
"Dok, pasien dr. Meysa dialihkan ke dr. Faris ya? Kunjungan pertama, ada dua orang aja." Suster Intan terkekeh.
"Baiklah." Faris kembali menghadap wastafel, menyabuni tangannya seraya menerawang ke luar jendela.
"Bisa, Dok pulang cepat." Ia berjalan masuk dan meletakkan kartu pasien di atas meja. "Pasien dr. Meysa namanya Amira Khalil."
Faris tertegun mendengar nama yang sudah lama tak didengarnya tapi terasa familiar. Sambil berjuang menenangkan diri, ia membalikkan badan, mengambil tisu yang berada di pinggir meja dan tidak langsung menjawab. Ia melepaskan kacamata bacanya untuk memijat pelipisnya pelan.
"Dok?" Suster Intan memanggil Faris untuk memastikan.
"Oke persilakan beliau masuk."
Sudah berapa lama, Mira? Pikir Faris.
Untuk beberapa detik, Faris terpana. Napasnya tercekat. ketika mendapati wanita yang selalu ingin ia lupakan kini berdiri di hadapannya.
"Selamat sore, Dok." Sapa Amira ramah dan hangat.
Perempuan dengan gaya eksentrik yang dikenalnya dulu, kini sudah menutup auratnya. Faris akui, penampilannya jauh lebih dewasa dengan blouse biru muda, kulot hitam dan kerudung biro dongker. Wajahnya dipoles makeup tipis dan dari gesture tubuhnya, ia terlihat profesional. Apa pekerjaannya? Tanya Faris dalam hati.
"Selamat sore, Dok." Sapa Amira ramah.
"Selamat Sore, silakan duduk." Faris mencoba santai karena menurut penglihatannya, Amira bersikap seolah mereka tidak saling mengenal. "Keluhannya apa, Bu Amira?
"Setiap menstruasi, saya nggak pernah merasakan sakit di perut, tapi untuk bulan ini sakitnya terus berlangsung sampai siklus saya selesai. Sudah dua minggu, Dok, perut bagian bawah saya sakit kalau lagi jalan, duduk bahkan bicara seperti sekarang. Selain itu juga.."
Faris yang dari tadi menatapnya kini mengernyitkan dahi karena Amira terlihat ragu untuk melanjutkan penjelasannya. "Kenapa? Ada yang salah?"
Amira menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan. "Kalau buang air kecil, alat vital saya sakit, Dok."
Mungkin terdengar canggung, tapi pertanyaan ini harus Faris ajukan. "Hmm. Are you sexually active, Bu Amira?" Faris yakin Amira tahu apa artinya, tapi ia kembali mengulangnya. "Apakah anda aktif secara seksual?"
"Enggak, Dok." Jawabnya singkat.
Faris mengangguk. Ia segera menulis diagnosa dan resep obat di kartu pasien sambil terus berusaha menyusun kalimat yang tepat di kepalanya.
"Baik, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Katanya masih menatap Amira dengan senyum yang ramah. "Ini masalah kebersihan saja. Jadi pertama, ganti pakaian dalam anda tiga sampai empat kali sehari. Kedua, basuh alat vital dari depan ke belakang karena bagian belakang itu lebih kotor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
Romance(Ditulis pada bulan Oktober 2023. Republished pada bulan Maret 2024) *** Amira Khalil masih betah melajang dan memilih untuk tetap fokus kepada karirnya sebagai seorang Market Researcher. Kehidupan yang stabil dan minim gangguan merupakan dua hal ya...