21 - Masalah Amira

4.1K 291 3
                                    

POV Amira

Mood gue sebenarnya langsung rusak ketika secara mendadak, tanpa pemberitahuan kepada dirinya dan tim, Pak Daniel yang sibuk menjadi tim sukses Capres yang sudah mengumumkan pencalonannya.

Tahun 2017 silam, beliau juga sibuk ketika diajak ke dalam project salah satu Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ujung-ujungnya gagal maning, gagal maning.

Jadilah, project Hosim yang bulan lalu beliau pegang, sekarang dialihkan ke gue. Lebih parahnya lagi, penanggung jawab Hosim, Bu Yana marah-marahnya ke gue karena Pak Daniel bisa dikatakan lepas dari tanggung jawab.

Pabrik dan Kantor Hosim berada di Citeureup, perjalanan balik ke Jakarta membutuhkan waktu satu jam setengah kalau tidak macet. Untungnya gue membawa bantal leher, jadi selama di mobil bisa sejenak memejamkan mata.

"Pak Said, Rima dan Dita, tolong jangan ngobrol atau dengerin musik ya. Saya mau tidur, pening kepala." Pinta gue kepada mereka.

Aima sampai di Jakarta subuh tadi, kakak menaiki kereta malam dari Solo? Jogja? Ah lupa. Gue juga sengaja terjaga dari jam setengah empat dini hari menunggu kedatangannya karena dia tidak memiliki akses card apartemen.

Karena kelelahan dan kurang tidur, bener saja, gue langsung terlelap selama dua jam perjalanan. Sebelum akhirnya mobil memasuki area lobi gedung kantor.

Sebelum kembali bekerja, gue memutuskan untuk duduk di kursi pijat yang berada di break room sambil membalas WhatsApp dan e-mail. Oh iya, chat Faris belum gue balas, pikir gue.

From +628126XXX
Jadi, di rumah cuma berdua aja biasanya, lo dan Amora?

Gue mengernyitkan dahi membaca chat itu, biasanya berdua Amora? Jangan-jangan dia pikir gue udah menikah? Atau janda anak satu?

From Amira to +628126XXX
Gue tinggal sendiri. Wait, lo kira Amora anak gue??

Ya nggak apa-apa juga kalau dia mengira gue janda atau udah berkeluarga sekalipun, toh dia pasti benci dan nggak tertarik lagi sama gue setelah apa yang terjadi pada hubungan kita di masa lalu.

From Kak Aima
Mir, pulang cepat bisa nggak? Hehe. Biar maghrib sudah sampai di rumah mama sebelum macet.

From Amira to Kak Aima
Oke, Kak. Mager juga gue kerja hahaha.

Gue langsung berdiri ke ruang Bu Sasa dan meminta izin balik lebih cepat dengan alasan nggak enak badan. Memang benar sih alasan ini, karena sepanjang perjalanan dari Citeureup tadi kepala gue udah berat banget.

Setelah diizinkan, gue cuma kerja selama satu jam dan lanjut beres-beres. Tetap saja gue bawa kerjaan ke rumah, sebagai Periset, pekerjaan rumah itu akan selalu ada.

***

Ketika turun dari taksi yang berhenti di lobi apartemen, ada mobil yang membunyikan klakson dan membuat gue menoleh. Faris lagi. Pikir gue.

Sebenarnya, gue harus sudah siap untuk selalu berpapasan dengan Faris dan teman-temannya. Selain karena kami bertetangga, rumah sakit tempat Faris bekerja juga tidak jauh lokasinya dari apartemen. Masuk akal sih kalau dia cari tempat tinggal yang dekat, secara jam prakteknya nggak kenal waktu.

"Ini apartemen mama, cuma beliau nggak mau nempatin, akhirnya gue sewakan." Faris menjelaskan kepada Sandy yang tadi penasaran.

Gue berusaha memasang wajah yang tenang sebelum akhirnya berpamitan kepada rombongan tersebut.

Apartemen mama? Pernyataan itu membuat nafas gue tercekat untuk beberapa saat. Bayangan wanita yang dulu pernah melabrak gue tiba-tiba muncul kembali di dalam ingatan.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang