26 - Pertanyaan di Kepala

4.2K 286 2
                                    

"Mir, Pak Haryo dari S&O Research masih kekurangan pegawai, jadi dia minta gue untuk merekomendasikan senior analyst dari kantor kita, gue mau lo bantuin beliau sampai perusahaannya stabil." Jelas Pak Daniel di meeting siang ini.

"Baik, Pak. Tapi, project di sini gimana?" Tanya Amira.

"Lo pergi ke sana dari pagi sampai jam makan siang. Terus, siang sampai sore elo di sini. Ada bayarannya, Mir." Ujar Pak Daniel tersenyum

Amira tertawa pelan, "kalau gitu saya tenang, Pak. Reimburse transportasi juga?"

"Iya, termasuk."

"Mulai kapan, Pak?" Amira berdiri dari kursi meeting membersihkan snack boksnya.

"Besok." Balasnya pendek seraya berjalan keluar ruangan.

Amira yang terkejut langsung mengejarnya. "Besok banget?"

Pak Daniel mengangguk. "Kayaknya Pak Haryo udah kirim detailnya lewat e-mail, tinggal lo cek aja."

Amira kembali ke kubikelnya untuk membalas e-mail dari tim Pak Haryo. Tidak menyangka bisa diberi kepercayaan oleh dua CEO tersebut karena ia merasa masih biasa banget di dunia riset ini.

Ia pernah diajak ke organisasi Market Researcher Indonesia, banyak orang-orang hebat yang sudah keliling dunia untuk meriset pasar, dirinya tentu belum ada apa-apanya dibandingkan mereka yang lebih senior.

Lalu pertanyaan mulai muncul, apakah gue mau menaikkan level dalam hal karir? Tapi konsekuensinya akan semakin sibuk sedangkan Amira ingin menikah suatu saat nanti, memiliki keluarga dan mengurus mereka.

Oleh karena itu, ketika masih di usia sekolah, ia pernah bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga. Mendengar pemikiran tersebut, banyak dari temen-temennya yang kaget karena tidak menyangka. Memang, ibu rumah tangga adalah hal yang sangat diremehkan dengan berbagai macam stigma negatif. Amira tidak peduli. Sejak kapan ia peduli pendapat orang lain?

Tok.. Tok.. Tok..

Liana mengetuk meja Amira dan mengejutkan wanita itu. "Sibuk banget, Buuu?"

Amira mengangkat telunjuknya ke udara, tapi matanya masih membaca laporan di komputer, "lo besok sendiri ya, gue disuruh ke S&O Research setiap hari sampai jam dua belas siang."

"What?"

"Kaki di kepala, kepala di kaki. Pening pala gue." Keluh Amira.

"Gue yang denger aja nggak sanggup." Liana mendengus pelan. "Ya udah, makan dulu. Lo mau takeaway apa?"

Amira menyandarkan badannya, menengadahkan kepalanya untuk meregangkan otot leher yang sudah pegal. Lalu ia menoleh pada Liana. "Thai street. Mau nggak berdua?"

"Yuk, menu biasa ya? Tom yam gong, crunchy platter dan nasi putih dua." Liana mendikte menu yang biasa mereka pesan.

"Yup, benar sekali."

Liana duduk di pinggir meja dan mulai sibuk dengan pesanan mereka. Amira berjalan ke jendela besar ruangan dan mengeluarkan handphone dari sakunya.

Matanya membelalak, Faris nge-chat dari empat jam yang lalu?

Faris to Amira
Mira, kita makan Yakiniku Like di GI ya.

Amira to +62812xxx
Yuk. Mungkin gue sampai sekitar jam enam sore.

"Udah gue order, 30 menit lagi sampai." Kata Liana

Amira hanya menganggukan kepalanya lemah. Ia tidak tahu apakah dengan mengiyakan ajakan Faris adalah pilihan yang tepat? "Eh, Li gue mau nanya sesuatu."

Liana mendongak dari handphone-nya, "elo lagi galau?"

Amira salah tingkah. "Kenapa elo nebaknya gitu?"

"Bertahun-tahun kenal elo, elo nggak pernah bilang 'gue mau nanya sesuatu.' Biasanya ya langsung aja nanya bahkan pertanyaan nggak masuk akal sekali pun."

Ucapan temannya itu membuat Amira tertawa. "Serius?"

Liana mengangguk, "gue juga mau nanya, dokter di RSIA yang tanya nomor handphone lo itu siapa? Kalian saling kenal?"

"Nah gue mau ngomongin dia." Ujar Amira. Ia memberikan isyarat pada Liana untuk duduk di sofa break room dan mulai membicarakan kisah dirinya dengan Faris dari masa lampau sampai hari ini.

Liana menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan apa yang baru di dengarnya. "Berapa tahun gue kenal elo, Mir? Empat tahun? Lima tahun? Ini pertama kalinya lo bingung tentang laki-laki. Biasanya, elo tau jawabannya, enggak, males gue, Li. Freak abis cowoknya." Ucapnya sambil tertawa

Amira menutup muka dengan bantal karena malu mendengar penilaian Liana tentang dirinya. Ia tidak menyangka sudah terlalu kaku dan ketus kepada setiap pria yang mendekatinya. "Gue sih mau aja diajak makan sama dia. Cuma, masih ada perasaan bersalah."

"Tapi dokter Farisnya aja cuek. Kenapa lo jadi bingung begini?"

Amira mengatupkan bibirnya. "Lo takut banget sama bayang-bayang masa lalu kalian?" Tanya Liana lagi.

"Gue takutnya dia lagi balas dendam sekarang. Terus gantian, gue yang disakitin."

Tentu Liana tertawa mendengar ketakutan Amira. "Dari tampilannya, dia bukan tipe pria yang sanggup ngelakuin itu ke elo sih."

"Nggak tau aja kan, Li. Banyak yang berubah dalam waktu sembilan tahun."

"Sebagai perempuan yang berpengalaman pernah disakiti secara fisik dan mental, trust me, dokter Faris nggak kayak gitu." Liana menenangkan Amira. "Mana tau sekarang dia ingin memulai semuanya dari awal tanpa perlu penjelasan dari kisah kalian di masa lalu."

Sebuah khayalan di siang bolong kalau Faris mengajaknya menikah, sama seperti dulu. Siapa yang tidak mengenal dokter kandungan yang tersohor ini? Muda dan berprestasi.

Beberapa waktu lalu Amira juga iseng melihat profilnya di internet dan beberapa platform video online, banyak yang memuja Faris Alhadid.

Siapalah Amira ini? Budak korporat yang hidupnya biasa banget. Faris tentu sudah berada di luar jangkauannya. Dulu dan sekarang, banyak yang berbeda. Banyak yang berubah. Termasuk perasaan.

***

Jiaaah, pendek-pendek banget yaaa. Ditunggu aja ya kelanjutannya bestie. Jangan lupa vote-nya. Makasih :D

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang