31 - Waktu yang Hilang

4.1K 278 5
                                    

"Dari semua kota tua di pulau Jawa yang udah gue kunjungin, kuncinya cuma satu, jangan ada yang jualan sembarangan. Kayak Malioboro, sekarang jadi bersih dan teratur. Tapi yang gue nggak sangka, Kota Lama, Semarang, bagus dan tempat parkir di dekat restorannya juga banyak." Jelas Amira ketika ia dan Faris menyusuri jalanan Braga untuk mencari kopi.

"Iya, pedagang kecil mikirnya mau cari penghasilan di tempat yang banyak didatangin turis, jadilah harganya juga mahal, kayak dulu masuk berita, bakso di Malioboro lima puluh ribu."

Faris dan Amira tertawa. "Itu lah, kadang pedagang di area turis tuh mikir, ah dia turis, uangnya banyak. Padahal, ada orang-orang yang liburannya pakai backpack, ada yang naik pesawat tapi tetep harus menghemat. Pengetahuan umum di segala jenis kalangan penting banget sih."

"Itu salah satu alasan gue nggak jadi ambil Spesialis Anak."

"Oh ya? Apa hubungannya?" Amira memberi isyarat untuk berhenti di Umbira Coffee.

"Pengetahuan gue hanya sebatas ingin mengatasi stunting dan gizi buruk di negeri ini. Waktu internship mata gue lebih terbuka. Banyak perempuan-perempuan muda yang belum paham dengan kesehatan reproduksi mereka, contohnya untuk vaksin. Jadi gue mikirnya, untuk melahirkan anak yang sehat, harus ada wanita-wanita yang sehat terlebih dahulu."

"Lo ngomong gitu, bikin gue pengen check-up."

Obrolan mereka terputus karena memesan iced coffee latte terlebih dahulu. "Hmm, lo periksa aja, Mir ke dokter."

OMG, salah ngomong! Di depan gue kan obgyn. Pikir Amira. "Iya, nanti."

"Kalau butuh bantuan, nanti gue rekomendasiin dokternya."

Amira tertawa canggung. "Ada aplikasi online, gue bisa cari sendiri. Thanks, BTW."

"Waktu kita pertama ketemu juga pakai aplikasi?"

Duh, Amira berasa habis main Tinder terus ketemuan sama si cowok di dunia nyata. Coba Halo Dok kayak Tinder ya, isinya dokter-dokter single yang lagi cari jodoh juga. Ngimpi terusss, Mir.

"Iya, baru pertama kali coba dan lumayan bagus, ada CV dokternya." Puji Amira. "Ih tapi kan gue temu janjinya sama dokter perempuan, bukan sama elo ya."

Faris terkekeh, "iya tau, dr. Meysa yang waktu itu berhalangan."

Amira malu sekali membahas pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun tidak berjumpa. Waktu itu, ia sampai terpikir bakal ada adegan buka baju di depan Obgyn segala. Mir, Mir, dari tadi pikiran lo ke mana-mana.

"Lo memang mau jadi periset, Mir?" Faris bertanya ingin tahu.

Amira menggelengkan kepala, "gue nggak pernah keterima setiap ngelamar kerja di dunia jurnalistik."

"Serius? Bukannya pengalaman lo banyak?"

"Nah untungnya, pengalaman gue di dua bidang. Jurnalistik dan pusat riset kampus. Ternyata yang berguna waktu dulu magang di riset media."

"Sekarang nggak spesifik untuk media?"

Amira menggelengkan kepala. "Lebih umum, jadi setiap kasus harus dipelajari lebih dalam."

"Yang paling susah?"

"Hmm kita lagi minum sih, banyak yang kotor-kotor, itu paling susah."

"I'm all ears. Gue siap dengar." Faris malah menantang Amira

"Gue pernah riset daur ulang limbah, dateng ke pembuangan sampah di Citeureup. Balik-balik malah mual parah." Amira mengenang kejadian tersebut. "Terus riset perusahaan traktor, ini biasa aja sih, cuma cek traktor di sawah. Tapi jauh, di Madura segala."

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang