03 - Market Researcher

7.2K 326 1
                                    

Amira baru selesai mandi, ia duduk di sofa dengan kaki terlipat. TV yang menampilkan drama Sci-Fi tersebut malah menonton dirinya. Ia melamun. Ingatannya kembali pada kejadian sore tadi di mana ia bertemu dengan, now, dr. Faris Alhadid, Sp.OG. Dari dulu ia sudah tahu Faris akan menjadi dokter spesialis di usia yang masih terbilang muda. Karena menjadi dokter adalah panggilan dirinya.

Terbukti, penjelasannya mudah dipahami oleh orang awam seperti Amira. Intonasinya tegas, tapi juga terselip kepedulian pada pasiennya. Dari gesture, pria itu terlihat sangat profesional malah seperti tidak mengenalinya sama sekali. Tubuhnya sedikit lebih berisi, mungkin ia rajin nge-gym? Atau itu hanya auranya saja?

Amira mengambil handphone yang ia letakkan di atas meja. Ia ingin melakukan pencarian di internet, "Bagaimana Cara Meminta Maaf Kepada Teman Lama." Ia membaca sekilas artikel yang ditampilkan dan berpikir bahwa dirinya konyol. Tapi, tidak berapa lama, ia kembali menghapus pencarian itu, "Meminta Maaf Pada Pria yang Pernah Kamu Tingalkan." Amira kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa seperti wanita remaja yang tidak tahu apa-apa tentang cinta.

Ngomong-ngomong cinta, memang pengalaman berpacarannya tidak banyak. Malah ia malas mengivestasikan perasaannya pada pria yang tidak jelas ingin menikahinya atau tidak. Terlebih lagi usianya sudah tiga puluh tahun. Karena alasan itu, Amira memiliki peraturannya sendiri ketika berkenalan dengan pria yaitu tidak mau jalan dan chatting lebih dari tiga bulan. Menurutnya, tiga bulan pun terlalu lama.

Amira bisa memutuskan, seorang pria layak atau tidak dijadikan suami, di sepuluh menit pertama pertemuan mereka. Perempuan itu berharap, ada satu saja pria yang waras dan tidak main-main karena ia sudah berada di usia yang siap untuk memulai sebuah keluarga. Faktanya, memang sulit bertemu pria yang memiliki pemikiran se-simple dirinya. Atau bisa dikatakan, sampai sekarang ia sama sekali belum bertemu pria yang sesuai dengan kriterianya.

Arghhh. Amira geram. Berbicara tentang jodoh memang tidak ada habisnya. Ia memilih untuk ke kamar dan bersiap untuk tidur.

***

Benar yang diucapkan Faris, setelah minum obat yang ia resepkan, perut terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dan membuatnya bolak balik pergi ke toilet. Tapi setelahnya, ia merasa jauh lebih baik dibanding dua minggu sebelumnya. Jadilah Amira berada di ruang meeting dengan Papa's Roti dan membatalkan medical leave-nya.

"Pagi, Pak. Pagi, team." Sapa Amira 

"Pagi, Agile Research." Balas Pak Robi ramah. "Langsung aja ya tim, sampai mana diskusi kita, Bu Amira?"

Slide yang menampilkan gambar dan chart muncul. Amira bangkit dari kursinya menuju layar presentasi. "Kita ke pembahasan co-branding untuk rencana jangka pendek."

"Oke, coba jelaskan lebih lanjut."

Kesabaran adalah hal yang tidak kalah pentingnya ketika bekerja sebagai Market Researcher. Banyak dari para klien akan menuntut seolah-olah periset adalah Tuhan yang bisa menemukan jalan keluar dengan cepat dan sempurna. Belum lagi kalau kinerja tidak sesuai ekspektasi, siap-siap saja akan kena semprot berupa makian dan sumpah serapah.

"Maaf ya Kak Mira, tadi chart presentasinya kurang lengkap."

Meeting sudah selesai dua puluh menit yang lalu. Tim Amira memutuskan untuk makan siang di kafetaria Papa's Roti. "Saya kan sudah bilang untuk biasakan double check, Dit. Kita itu penyedia jasa, klien itu bos. Jadi, kerjanya harus maksimal dan menguntungkan dua belah pihak." Jelas Amira.

Selalu ada cerita setiap selesai meeting . Hari ini, dua orang yang Pak Daniel bawa agak bikin kepala pening. Niat beliau baik, ingin memberikan jam terbang tinggi kepada para fresh graduate. Faktanya di lapangan, mereka belum cukup bertanggung jawab dengan tugas yang diberikan.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang