28 - Begitulah

4K 277 4
                                    

Tidak pernah terbesit sedikit pun keinginan untuk berkunjung ke rumah Amira. Ia pikir, kali ini akan mendekati wanita itu dengan lebih hati-hati dan tidak terburu-buru. Hingga Amira duduk dan makan malam bersamanya, membuat Faris membatalkan rencana tersebut dan ingin segera melamar Amira Khalil.

Ia takut akan ada pria lain yang mendahuluinya. Sebut saja si Adam Adam yang waktu itu mabuk dan menelpon Amira hampir tengah malam. Itu pun yang ketahuan oleh Faris. Nggak tahu deh berapa banyak yang mungkin sedang memendam rasa pada Amira.

"Assalamu'alaikum, Kak." Sapa Faris seraya memberikan sekantong buah. "Ini, Kak saya bawain buah."

"Wa'alaikumsalam, sini masuk, Ris." Balas Aima ramah. "Lo punya temen cowok, Mir? Waktu kakak titip Amora, elo nggak pacaran dong?"

"Kan gue bilang, gue single." Amira menunduk dan menggendong Amora. "Ini Om Faris, Mora. Salim"

Faris menerima uluran tangan mungil tersebut lalu mengusap puncak kepalanya. "Mora udah makan?"

Faris mengikuti kedua kakak beradik tersebut. Mereka menuju sofa ruang TV dan ia duduk di sana setelah dipersilakan.

Sesekali matanya memandang tanaman mama yang memang dirawat dengan telaten oleh penghuni rumah.

"Air mineral aja ya, Ris. Mira nggak ngijinin ada soft drink ataupun sirup di rumah ini." Aima memberikan segelas air mineral dingin.

"Sebenarnya Faris bukan tamu banget sih, Kak. Ini rumahnya dia juga." Amira berujar pada kakaknya.

"Hah? Kok bisa?" Tanya Aima dengan suara yang sedikit meninggi karena terkejut.

Faris tertawa pelan dan menjelaskan yang sebenarnya. "Kita tetangga. Saya tinggal di unit 601, Kak. Kalau ada apa-apa, feel free to knock on my door."

Aima menggelengkan kepala lalu menoleh pada adiknya. "Terus, Mir, lo beramah tamah sama tetangga gitu? Bukan elo banget sih."

Faris mengulum senyumnya dan menatap Amira yang masih mendekap Amora dan menidurkan balita itu di pangkuannya. "Gue sama Faris teman lama, Kak."

"Gitu, Ris?" Aima sepertinya tidak yakin dengan ucapan adiknya.

"Begitulah, Kak."

Aima menganggukan kepalanya sambil beberapa kali memandang Faris dan Amira bergantian. "Terus ini kalian habis makan bareng?"

Amira mendengus kesal. "Kan gue bilang, Ris. Better nggak ke rumah gue. Bakal diinterogasi."

"Ish, itu pertanyaan yang wajar kali, Mir. Ya nggak, Ris?" Aima butuh pembelaan.

"Hehehe, benar, Kak. Kan baru kenal ya, jadi wajar aja." Ujar Faris seraya melirik Amira yang menekuk mukanya.

"Teman lama tuh, lama banget atau gimana?"

Faris menggelengkan kepalanya. Benar kata Amira, kakaknya masih terus menanyakan bagaimana mereka bisa saling mengenal.

Faris tidak tahu bagaimana pergaulan Amira setelah perpisahan mereka dulu. Sepertinya wanita itu masih sama, malas memiliki banyak teman.

"Saya teman Mira waktu kuliah dulu, Kak. Tapi beda jurusan, kenal waktu KKN."

"Terus kerja di mana sekarang, Ris?"

"Saya kerja di RSIA, dokter kandungan"

"What? Calon adik ipar gue dokter?" Tanya Kakak.

Amira memejamkan mata menahan malu. Lain ceritanya dengan Faris, "iya, Kak." Ungkap Faris.

Aima tertawa. "Ding dong! Pertanyaan jebakan. Jadi lo beneran calon adik ipar?"

Faris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kurang lebih lah." Ia menatap Amira dan wanita itu sedang melotot ke arahnya. Bukan jenis mata yang sedang terkejut, mungkin sedikit marah dan kesal?

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang