Tim Sosial Media Rumah Sakit sudah menghubungi beberapa hari lalu untuk wawancara perihal "Pengalaman Menjalani Residensi."
Mereka mengatakan artikel tersebut akan di upload di website Rumah Sakit dan videonya di sosial media.
"Selamat siang dr. Faris Alhadid." Sapa mereka memasuki doctor station atau tempat yang biasa dipakai dokter berkumpul.
"Selamat siang, silakan duduk." Ujar Faris seraya menunjuk kursi yang berada di seberang sana
"Langsung aja ya, Dok. Saya Nindi," ia meletakkan handphone di atas meja dengan mode recording untuk merekam wawancara, "seperti yang sudah kita diskusikan beberapa hari lalu, apa pesan yang bisa anda berikan kepada dokter di luar sana yang akan menjalani residensi?"
"Baik, menurut saya, untuk residen di luar sana, jangan takut untuk mendaftar ke Rumah Sakit yang banyak menerima pasien. Karena residensi adalah waktu yang kita habiskan untuk banyak berbuat salah dan belajar dari kesalahan tersebut."
Pewawancara tersenyum mendengar jawaban Faris, "wah menarik nih, dok. Jadi, dulu dokter sengaja mencari Rumah Sakit dengan pasien yang lumayan banyak?"
Faris mengangguk, "benar. Saya mencari Rumah Sakit yang memiliki angka tertinggi persalinan, yaitu sekitar 20-30 bayi sehari."
Nindi melongo karena tidak percaya.
Faris melanjutkan, "bukan hanya praktek bersalinnya saja, tapi residen juga harus memiliki kemampuan leadership dan public speaking. Leadership atau kepemimpinan nggak kalah penting karena residen senior akan mengajarkan juniornya, padahal sama-sama masih belajar belum ada yang menjadi spesialis." Ujar Faris tertawa pelan, "tapi begitulah kehidupan di rumah sakit, harus saling tolong menolong dalam hal ilmu."
"Untuk public speaking, seorang dokter juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kondisi pasien kepada wali mereka, oleh karena itu dokter harus memiliki kepercayaan diri untuk berbicara di depan orang yang baru dikenalnya"
"Berarti, seorang dokter Obgyn juga harus siap dengan keadaan apapun selain proses persalinan?"
"Betul, itu gunanya residensi. Kita menghadapi berbagai jenis situasi, pasien, penyakit dan penanganannya. Selalu ada dinamika. Dokter adalah profesi untuk orang yang siap dan mau bekerja selama dua puluh empat jam, bukan hanya silau dengan jas putih dan stetoskop di leher."
Wawancara berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Setelah selesai, Faris masih berada di doctor station dan dr. Hiro masuk dan membuat kopi instan, "wah, kayaknya makin banyak yang menuntut supaya lo selalu diwawancara ya untuk kepentingan akun sosial media rumah sakit?"
"Masa? Saya melihatnya sebagai pekerjaan aja sih."
Dr. Hiro menyeruput kopinya dan menggelengkan kepala, "hmm, lo nggak liat kolom komentar sosmed? Rame. Banyak yang pengen tau lo dulu residensinya gimana. Ya, mungkin faktor look lo yang lumayan 'menjual'."
Faris tertawa kecil dan mulai membuka akun sosial media Rumah Sakit. Ia tidak mempercayai ucapan dr. Hiro. Detik selanjutnya, ia betul-betul terkejut. Benar saja, banyak komen seperti,
"Wah, udah muda, ganteng pula dokternya. Tips residensi dong, dok."
"Ganteng banget, dok. Mau sama anak perempuan saya?"
"Naikin gaji admin kalau berhasil wawancara dr. Faris Alhadid selama 12 jam."
Faris terkekeh membaca komen-komen yang menyegarkan tersebut. Ia tidak menyangka kalau dokter bisa setara public figure.
"Banyak dokter yang sekarang membagi ilmunya lewat sosial media." Ujar dr. Hiro. "Dokter Faris mungkin bisa mencobanya, udah punya penggemar soalnya."
***
Hari ini shift berakhir jam tujuh malam, Faris tidak memiliki janji dengan siapapun. Ia duduk di kursi ruang makan memikirkan ucapan dr. Hiro.
Banyak hal yang berubah sejak adanya sosial media. Contohnya, tayangan televisi saja sekarang sudah mulai di-upload di Youtube karena sebagian besar orang berada di depan handphone-nya dibanding di depan TV. Marketing pun sama, ada alokasi dana untuk digital marketing.
Memang kalau mengikuti zaman tidak akan ada habisnya. Untuk saat ini, ia akan fokus ke dunia medis yang sesungguhnya saja. Faris memang kuno, ia terlalu takut untuk mencoba sesuatu di luar zona nyamannya.
Ia bangkit dari duduknya dan melihat sekeliling, ternyata hidup gue datar banget. Rumah, Rumah Sakit, temen juga cuma punya Sandy dan kalau ada waktu luang cuma telfonan sama mama atau adik setiap malam.
Tahun depan sudah berusia tiga puluh dua tahun. Sudah saatnya semakin fokus untuk berkeluarga, kan? Teman-temannya mungkin sudah bosan mengenalkan perempuan lajang padanya. Ia pun mulai bingung, harus yang bagaimana lagi agar akal dan hatinya menerima perkenalan dengan ikhlas?
Faris ke kamar, duduk di meja kerja, mengeluarkan note book, dan ia tiba-tiba ingin menulis,
Semua tentangmu membuatku menjadi berlebihan.
Tiba-tiba aku takut akan sebuah kerinduan dan kehilangan. Aku takut akan sebuah perpisahan dan ketiadaan.
Kamu pernah mengatakan, "ketika merasa sedih ditinggal pergi, berarti dirinya begitu berarti."
Mungkin itu adalah cara-Nya agar kita berlomba untuk meletakkan percaya kepada sebaik-baiknya Perencana.
Agar kita tahu, bagaimana seharusnya merawat yang disayang dalam doa.
Faris Alhadid
Unit 601
November, 2023Ya, yang Faris lakukan hanyalah berserah diri kepada Sang Pencipta. Agar langkahnya diringankan. Agar niat baiknya dimudahkan. Dan yang terpenting, agar hatinya dilembutkan karena segala jenis usaha telah dilakukannya, tapi belum juga ada dorongan untuk menggenap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
Romance(Ditulis pada bulan Oktober 2023. Republished pada bulan Maret 2024) *** Amira Khalil masih betah melajang dan memilih untuk tetap fokus kepada karirnya sebagai seorang Market Researcher. Kehidupan yang stabil dan minim gangguan merupakan dua hal ya...