PROLOG

361 165 16
                                    

Sakit seperti apa yang disembunyikan dariku, Mas? Luka batinmu, apakah memang nyata? Bagaimana mungkin kamu sanggup memendam semuanya sendirian? Padahal perang antara akal dan batinmu amat sangat melukai. Aku masih belum percaya dengan kabar tentang kematiannya. Wajahnya bahkan masih jelas tergambar di kedua bola mataku. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, adalah obat bagi kesakitanku. Dia membantuku melewati masa-masa penuh kesulitan. Menjadi penenang, ketika diri ini seringkali berucap ingin mati. Dia membawaku pergi, menjauh dari nestapa yang memeluk bahkan hampir membuatku terbunuh.

Aku ingat ketika dia dengan penuh usaha membujukku agar mau berobat. "Sya, Hasya berobat ya? Mas temenin kok, janji. Katanya Hasya pengin sembuh, pengin nikmatin hidup dengan kondisi yang baik-baik aja. Mau ya?" Pintanya dengan tatapan penuh memohon. Air mataku terus saja mengalir meratapi ketiadaannya. Mengingat bagaimana baiknya dia padaku, dulu.

Ku pegang foto dengan bingkai berukuran kecil yang terpampang jelas bahwa itu adalah fotonya ketika sedang bermain di tepi pantai. Celana hitam pendek selutut, kaos putih oblong, tatanan rambut yang bagus, serta senyum mengembang penuh bahagia tergambar jelas di raut wajahnya. Galen Arnawama. Ia cukup akrab dengan panggilan Nawam. Pemuda tinggi dengan hidung mbangir serta kulit sawo matangnya cukup membuat mata yang memandang langsung terpikat seketika.

***

Danastri, Ibu Nawam, masih setia menunggui nisan yang bertuliskan nama anaknya itu. Hasya dengan ditemani oleh Juwita dipapah untuk berjalan menuju ke tempat Halimah.

Danastri melihat Hasya, hingga tangisnya pecah kembali. Dia berdiri, kemudian memeluk Hasya erat. Karna keadaan mereka berdua sama-sama lemah akibat menangis hampir setengah hari, akhirnya mereka pun jatuh tersungkur ke tanah, di samping makam Nawam.

Kalau saja kala itu hujan tidak turun, mungkin mereka berdua masih tetap setia menunggui makam Nawam, barangkali dia bangun dari tidur panjangnya ini. Mustahil bukan?

***

Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir dulu ke rumah Mas Awa. Menemani ibu yang sedari tadi terus saja menangis. Kasihan ibu, Setahuku Mas Awa adalah anak tunggal. Dia adalah satu-satunya keluarga yang ibu punya selama ini. Suaminya meninggal, ketika Mas Awa masih berumur delapan tahun. Aku duduk di sebelah ibu yang tengah bersandar pada kepala ranjang.

"Ibu, makan dulu ya? Nanti Ibu bisa sakit kalo ndak makan," ucapku lirih, sambil menahan sekuat tenaga agar air mata ini tak jatuh lagi.

"Nduk, Ibu kepengin Nawam ada disini. Ibu kepengin Nawam temenin ibu. Ibu ndak mau sendirian, Ibu takut kesepian," beliau berkata sambil menangis sesenggukan. Aku meletakkan mangkuk yang berisi bubur ke atas nakas samping tempat tidur. Kemudian ku genggam jemari milik ibu, dan langsung memeluknya. Tangis kami berdua pecah, bersamaan dengan hujan yang semakin deras mengguyur gelapnya malam.

***

Aku pulang ke rumah dengan diantar oleh Juwita. Seluruh tubuhku lemas tak berdaya. Tenagaku hilang entah dimakan apa. Di rumah, sudah ada ayah, bunda, dan kakakku. Mereka menatapku penuh iba. Kulihat bunda tengah mengusap air matanya dengan tergesa-gesa, kemudian menghampiri dan langsung memelukku. Aku menangis dalam pelukan. Rasanya hancur sekali, seperti mimpi buruk di siang hari. Aku tak sanggup lagi untuk berkata, hanya air mata yang mampu mewakilinya.

Tiga jam lamanya aku terbaring di atas ranjang, dengan menyisakan bekas air mata yang sempat mengalir. Ternyata dalam tidur pun aku masih menangisinya. Berharap ada keajaiban datang, meminta untuk menghidupkan kembali kekasih yang sudah tak bernyawa. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berusaha duduk agar bisa bersandar pada kepala ranjang. Mencari posisi ternyaman, dan menghembuskan nafas secara perlahan. Aku menoleh ke arah samping, sudah ada bunda yang tersenyum simpul kepadaku. Aku membalas senyuman itu, membuatku tersadar bahwa aku baru saja menghadiri pemakaman dari orang terkasih. Wajah yang sudah mengering pun, kini harus basah karena kembali dihiasi oleh bulir-bulir bening penanda kehilangan. Isakan tangis kembali terdengar, menyisakan kehampaan pada raga yang terkulai lemah.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang