31. Juwita

15 11 3
                                    

Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang selalu disibukkan dengan pekerjaan. Dia memang mampu memberiku segalanya, namun tidak dengan cinta, pun kasih sayang yang sering dibicarakan banyak orang. Kata mereka, ayah adalah cinta pertama anak perempuan. Namun bagiku, ayah adalah aset utama anak perempuan. Harta kekayaannya bisa kuhabiskan kapan saja. Aku selalu bertanya, mengapa beliau tidak memilih untuk menikah lagi agar ada yang merawatnya, namun ia hanya diam, lagi-lagi alasannya selalu sama, belum bisa melupakan mendiang istrinya. Entah seperti apa wujud asli dari almarhumah ibu, fotonya bahkan tak ada satupun yang terpajang di dinding.

Ayah adalah sosok pendiam, ia bicara jika ada perlu saja, tak terkecuali denganku, anaknya sendiri. Beliau pandai sekali menyembunyikan luka kemudian mengemasnya dalam tawa. Tak pernah sekalipun beliau main tangan meski dalam keadaan marah. Namun, saat tau jika aku dikeluarkan dari sekolah karena kasus perundungan, barulah beliau angkat bicara, bukan untuk membela, melainkan memarahiku habis-habisan. Aku bahkan sampai ketakutan, meski tak ada kalimat berupa umpatan maupun sumpah serapah, tapi tetap saja yang namanya anak akan tetap sakit hati mendengar bentakan dari ayahnya. Namun, aku tak berniat membalas, Sebab semua itu memang salahku.

Setelah semua berlalu, aku memutuskan untuk meminta maaf secara langsung kepada pihak yang bersangkutan. Ku datangi rumah mereka, meminta pengampunan atas segala permasalahan yang kumulai. Dari mereka, aku mendapat banyak umpatan, pun perhatian. Sayangnya, tak semua dapat bertemu tatap, rupanya sudah ada yang berkeluarga dan memilih tinggal mengikuti jejak langkah suaminya. Namun, ada satu orang yang dimana aku sangat ingin mendapat permaafan darinya. Yakni, Hasya. Gadis yang selalu kujadikan mainan saat sedang bosan. Gadis yang tak pernah membalas ketika diperlakukan tidak adil olehku, gadis yang diamnya saja mampu membuatku emosi.

Flasback
Suasana rumah nampak sepi, namun aku tetap memberanikan diri untuk masuk, meminta tolong kepada satpam yang tengah berjaga di pintu gerbang untuk memberikan jalan. Beliau menyapaku dengan tatapan aneh, namun tetap menampilkan senyum tipis sebagai sambutan atas perwakilan tuan rumah. Turun dari mobil, aku tak sengaja melihat sesosok laki-laki yang tengah berkutat di depan laptope, ia duduk di gazebo sambil sesekali mengernyitkan dahi. Aku mengira jika ia adalah Falah, kakak Hasya. Ingin menyapa, namun takut berujung mengganggu. Akhirnya aku memilih untuk mengabaikan saja. Tiba di pintu masuk, sebelum menekan bel, pintu sudah lebih dulu dibuka, menampilkan sesosok perempuan cantik yang usianya kira-kira hanya berbeda beberapa tahun saja denganku. 

"Permisi, sapaku," yang langsung dibalas dengan senyuman.

"Temennya Mbak Hasya?" Perempuan itu langsung bisa menebak siapa diriku, meskipun sedikit keliru, sejak kapan Hasya menganggap perempuan sepertiku sebagai teman, sedangkan aku saja hanya bisa merisaknya sesuka hati. Namun aku tetap mengangguk sebagai jawaban.

"Waduh, Mbak Hasya-nya lagi diluar, masih belum pulang. Kayaknya malem baru ada di rumah. Duduk dulu, Mbak. Saya panggilkan Ibu sebentar," perempuan itu lantas mempersilahkanku untuk duduk.

Seorang wanita cantik tanpa polesan sedikit pun nampak baru saja terbangun dari tidurnya, ia berjalan pelan menuruni anak tangga, meski hanya memakai daster namun tak memudarkan paras eloknya. Siapa lagi jika bukan Mustika, dirinya baru saja tidur beberapa menit yang lalu, namun sudah dibangunkan begitu saja sebab ada tamu. Arumi sebenarnya takut, namun karena sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan oleh tamu tersebut, alhasil ia memilih untuk membangunkan majikannya itu.

"Halo, Siapa ya?" Sapa Mustika, ia bahkan langsung menemui Juwita tanpa berniat mencuci muka terlebih dulu.

"Juwita, Tante. Teman Hasya," lugas Juwita, ia merasa gugup sebab respon Mustika seolah tak percaya.

"Teman? Teman yang mana? Oh, teman baru ya?" Mustika bingung, sebab putrinya tak pernah mengungkit teman perempuannya selain Melati dan Raina.

"Tante, sebenarnya takdir yang membawa saya datang kesini. Saya ingin ada keperluan dengan putri anda. Saya ingin meminta maaf secara langsung dengannya terkait kasus beberapa tahun bahkan bukan yang lalu," ucapnya terus terang.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang