EPILOG

28 9 1
                                    

Sekarang, tak ada lagi gurat kepedihan dalam wajahnya, meskipun ada namun tak sepilu dulu. Hasya kini sudah membeli rumah baru yang lokasinya dekat dengan rumah Danastri. Ia sengaja melakukannya demi bisa mengontrol keadaan Danastri setiap saat. Aura kecantikannya semakin bertambah. Ia kini sudah lebih dewasa dari biasanya. Meskipun sudah disibukkan dengan kegiatan baru, ia tak melupakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa kedokteran jiwa yang kini sudah mencapai tiga semester. Waktu memang cepat berlalu dari yang diperkirakan. Ia sudah mulai bisa menata hidupnya kembali. Ia juga tak segan-segan melanjutkan sesi konseling yang sempat tertunda beberapa bulan lamanya. Dengan senang hati, ia seperti hidup kembali.

***

7 Agustus 2004
Pada masa itu, laki-laki yang usianya baru menginjak tujuh tahun harus melihat kejadian mengenaskan seumur hidupnya. Ia dengan langkah bergetar ingin berteriak meminta tolong namun tertunda sebab mendengar ancaman dari laki-laki dewasa yang bernama Wicaksono-ayahnya sendiri. Galen Arnawama, harus menyaksikan langsung adegan pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya kepada sang kakak-Gavin Adhitama yang kala itu usianya baru saja menginjak sembilan tahun. Gavin mengalami gangguan mental yang dikenal dengan sebutan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan tersebut menyebabkan penderitanya khususnya anak-anak sulit untuk memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi, pelupa, bertindak impulsif dan hiperaktif.

Gavin memang terkenal dengan anak yang tidak bisa diam serta mengalami kesulitan belajar baik membaca maupun menulis. Ketika sedang berada di lingkup yang cukup ramai atau paling tidak ada satu orang yang sedang bersamanya, ia dengan sengaja akan mengetuk-ngetukkan jarinya hingga membuat siapapun yang berada disekitarnya merasa terganggu. Danastri hendak membawanya ke dokter untuk melakukan sesi terapi, namun sebelum hal itu terwujud, Gavin sudah lebih dulu tewas di tangan ayahnya sendiri.

Saat sedang libur kenaikan kelas, Wicaksono mengambil alih seluruh pekerjaan Danastri, selain memasak dan mencuci. Ia sukarela mengajari kedua putranya belajar, terutama Gavin. Wicaksono terkenal kesabarannya selama sembilan tahun terakhir ini dalam mengurus anak, pasangan suami istri itu memang sering membagi pekerjaan rumah jika memiliki waktu senggang. Danastri sama sekali tak menaruh curiga terhadap suaminya sendiri, maka dari itu ia berpamitan pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang sudah habis.

“Tuh liat, adek kamu aja bisa. Masa kamu enggak sih?” nada suaranya masih melembut. Belum nampak guratan ketidaksabaran diwajahnya. Mendengar itu, Gavin merubah wajahnya menjadi masam, ia merasa marah sebab dibanding-bandingkan dengan sang adik. Padahal dirinya memang benar-benar kesulitan dalam urusan belajar, ia tak pernah bisa fokus dengan pikirannya.

“Kamu enggak malu satu kelas sama adik kamu? Gavin kan udah sembilan tahun, udah seharusnya masuk kelas empat, tapi masih diem aja di kelas dua. Masa mau tinggal kelas terus cuman karena belum bisa membaca sama menulis?” ada sedikit tekanan dalam nada bicaranya.

Gavin justeru semakin menjadi-jadi. Ia berlari kesana-kemari sembari mencoret-coret tembok menggunakan spidol permanen yang diambilnya di dalam rak buku, membuat dinding yang semula bersih menjadi kotor akibat ulahnya.

“Nawam masuk kamar dulu ya?” Wicaksono menyuruh anak keduanya untuk bersembunyi di dalam kamar dengan alasan ingin sedikit memberi hukuman kepada putra sulungnya. Nawam yang kala itu masih kecil hanya menurut tanpa membantah apalagi bertanya lebih lanjut.

Wicaksono meregangkan otot-otot tangannya. Seolah sedang melakukan pemanasan, volume televisi sengaja ia besarkan agar nantinya tak ada seorang pun yang mendengar suara orang minta tolong. Senyum dibibir Gavin pun pudar, ia berjalan mundur, hingga tubuhnya membentur dinding. Tangannya bergerak mencari sesuatu yang kiranya dapat menyingkirkan wajah milik ayahnya yang seolah sudah dilapisi dengan topeng iblis.

Malamnya, Wicaksono dibawa oleh polisi untuk memberikan kesaksian sekaligus kronologi mengapa ia bisa membunuh putra kandungnya sendiri. Dengan tenang, Wicaksono menceritakan semuanya di depan pihak yang berwenang, akibatnya, ia dijatuhi hukuman penjara selama dua puluh tahun. Nmaun, sata hukuman baru berjalan selama satu tahun Wicaksono ditemukan meninggal di dalam sel sebab bunuh diri dengan cara mengginggit lidahnya sendiri.

Mendengar itu, hatinya kembali merasakan sakit. Kini dirinya tengah duduk di taman kota dengan seseorang yang dulunya pernah menjadi guru les privatnya, yakni Giandra Paraduta. Keduanya tak sengaja bertemu di kampus, Hasya yang baru saja selesai dengan kelasnya, dan Giandra memiliki keperluan dengan dosen yang merupakan sahabar karibnya. Awalnya Hasya ragu untuk menyapa, namun saat hendak berbalik arah, namanya sudah dipanggil lebih dulu oleh lelaki itu.

“Saya jadi semakin merasa kurang setelah mendengar cerita barusan. Se-enggak bergunanya saya untuk dia saat masih hidup,” sesalnya.

“Kamu enggak perlu merasa bersalah, itu memang sudah menjadi jalannya,” Giandra mencoba untuk memberi sedikit ketenangan.

“Penyakit kami sama, yaitu PTSD, tapi saya bahkan enggak menyadarinya,” Hasya tersenyum penuh sesal.

“Tapi dia juga mengidap depresi, lebih tepatnya smilling depression.”

“Pantas saja dia selalu menyembunyikan semua dibalik tawa, ternyata demikian.”

Ditinggal pergi bukanlah sebuah keinginan. Apalagi untuk orang yang sudah membersamainya dalam ikatan batin. Nawam bagi Hasya adalah sosok dokter tanpa almamater. Namun, siapa sangkat, dokter tersebut ternyata menyimpan berjuta rasa sakit yang tak diketahui oleh pasiennya sama sekali. Hasya benar-benar kembali diselimuti oleh rasa penyesalan.

Untuk Kekasih :
Mas, sakit kan? Aku jauh lebih sakit dari yang kamu kira. Tapi, rupanya kamu juga jauh lebih sakit dari yang aku kira. Kita sama-sama sakit, seharusnya saling mengobati, bukan malah berperan ganda. Kamu rakus, Mas. Kamu bahkan bisa bertindak layaknya pasien di depanku, namun kenapa bertindak sok kuat? Aku benci, tapi aku cinta.

Mas… tidakkah tersimpan rindu yang teramat dalam untukku? Aku bahkan masih menyimpan segala apa yang berhubungan denganmu, maksudnya yang pernah kau berikan untukku. Huhhh, kamu begitu sulit ditebak, selalu berlagak misterius untuk aku yang pada dasarnya memang bodoh.

Mas… bangun, Ibu udah sembuh. Udah sehat seperti sedia kala. Oh iya, Mas, cemburu enggak? Kemarin, Hasya dikasih bunga sama abang-abang tukang parkir, lucu deh, kalau diingat-ingat, Mas belum pernah ngasih bunga buat Hasya secara langsung. Sebel.

***

Hubungan Hasya dengan kedua orang tuanya semakin erat, mereka sudah sama-sama saling memaafkan. Sebagai orang tua, memang sudah seharusnya memberi maaf dan meminta maaf jika punya kesalahan, pun sebaliknya kita yang statusnya sebagai anak, bertindaklah demikian. Kalau perlu, minta maaflah tanpa menunda lebih dulu, tanpa berpikir siapa yang salah dan siapa yang benar, tanpa mementingkan keegoisan.

Dibalik kemarahan manusia, pasti tersimpan entah sedikit atau banyak alasan. Dibalik watak Zayn yang keras, ada didikan kedua orang tuanya yang sedemikian rupa. Mustika yang menganggap uang adalah segalanya, itu karena sedari kecil ia hidup serba kekurangan. Hasya yang penakut, keras kepala, rendah diri, rupanya adalah korban pembullyan dan pola asuh orang tua yang sedikit keliru. Semuanya ada alasannya masing-masing. Saling menyalahkan hanya akan memperbesar akar permasalahan, namun, memaafkan, justeru akan semakin mempererat rasa kekeluargaan. Itulah hidup, kita harus hati-hati dalam memainkan peran sebagai manusia.

“Galen Arnawama, lelaki seperti apakah kamu hingga mampu membuat gadis yang bernama Arisha Terra Hasya enggan membuka hati dan enggan menerima cinta dari lelaki lain?” ucap sosok laki-laki yang bersembunyi dibalik pohon beringin, ia mengikuti Hasya menuju rumah baru mendiang kekasihnya.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang