33. Isi Hati

2 1 0
                                    

Sepeninggal Mas Awa tentu membawaku menuju ke dalam perubahan yang begitu drastis. Aku tak mau menjalani sesi konseling dengan psikiater lagi. Aku hanya ingin sendiri, meratapi nasib yang semakin hari semakin tragis. Tak ada yang bisa menghibur diri ini selain kehadirannya dalam mimpi. Namun, sudah sebulan ini aku belum memimpikannya kembali. Langit-langit kamar dengan lukisan awan menyiratkan kerinduanku padanya. Langit senja yang selalu kupertanyakan mengapa setiap memandang selalu menjelma bak trauma kini tak pernah kulihat kembali, sebab membuat diri ini semakin sakit dan merasa sesak hingga tak bisa bernafas dengan lega. Aku kesepian untuk yang ke sekian kalinya. Dia benar-benar meninggalkanku untuk selamanya. Meski tanpa sengaja, namun sakitnya tetap terasa. Tak ada keikhlasan selama mengantar kepergiannya. Tak ada kerelaan jika dirinya sudah berbeda dunia.

Akan selalu kupertanyakan mengapa dia meninggal lebih dulu? Kondisinya semakin membaik, andai saja kala itu aku menolak kunjungannya ke rumahku, pasti saat ini aku masih bersamanya, merumuskan jalan yang akan ditempuh untuk sampai pada yang namanya masa depan. Dia tak akan pernah mati, meskipun ketiadaannya begitu nyata. Dia tak sendiri karena ada aku yang selalu menemani. Mas, aku akan menuntaskan segala apa yang pernah kita miliki, aku akan menantimu dalam sebuah perjalanan panjang yang bernama kehidupan.

Setelah ini, meskipun sudah tak memiliki gairah hidup, aku akan tetap berjuang untuk bisa bertahan selama masih diberi nafas. Aku tak akan menyerah, meski seringkali dihujani nestapa hingga ratusan kali. Aku akan tetap tersenyum meski tanpa kehadiranmu disisiku. Mas, untuk waktu yang telah kita habiskan bersama, terima kasih telah menerima gadis dengan banyak kekurangan ini, penyakitan, emosian, dan segala sifat buruk lainnya yang tak dapat aku sebutkan satu-persatu. Mas, bercerita denganmu adalah obat bagiku, mendengar nasehat maupun kisah apapun itu, asalkan kalimat itu keluar dari mulutmu. Mas, untuk kehidupan selanjutnya, mari kita membangun keluarga, bercengkerama dalam bahtera rumah tangga, sekaligus mencari tempat tinggal yang jauh dari sekumpulan manusia. Aku mendambakan itu, Mas. Namun mimpiku lekas pupus ketika kembali mengingat kenyataan. Mas, banyak manusia yang ingin meminangku akhir-akhir ini, namun aku tolak dengan sopan, aku mengatakan jika kekasihku sedang dalam perjalanan jauh dan sebentar lagi akan pulang, namun mereka malah mencibirku habis-habisan dan mengataiku wanita gila. Mas, aku bahkan sering berbicara dengan boneka beruang yang kamu berikan untukku. Dia adalah pendengar yang baik setelahmu. Dia adalah sahabat yang bisa ku peluk sepanjang waktu. Dia adalah benda yang mampu membawaku masuk ke dalam dunia fantasi yang begitu mustahil.

“Mas, sekali lagi, bukalah matamu. Pandanglah aku dengan tatapan sayu milikmu. Bangunlah, nafasmu bahkan masih terdengar lirih di telingaku. Bibirmu seolah tersenyum dalam pantulan penglihatanku. Apakah begitu sakit menanggung semuanya sendirian? Aku kekasihmu, mengapa tak kau hiraukan keberadaanku. Menumpahkan seluruh kesahmu padaku. Aku merasa tak berguna selama berada di sampingmu. Merasa gagal menjadi perempuan yang pernah kau andalkan. Keinginan untuk sembuh hilang setelah ketiadaanmu.”

Mas, kamu tak akan melupakan kalimat itu kan? Kalimat yang kususun langsung di depan jasadmu. Aku sengaja membisikkannya tepat di telingamu agar kamu bisa mendengarnya, meskipun aku tau dengan jelas jika itu hal mustahil. Biarlah mereka menganggapku gila. Aku memang sudah gila semenjak mengenalmu. Perempuan yang dulunya sangat takut sekaligus membenci laki-laki, tiba-tiba saja langsung jatuh hati denganmu hanya dengan sekali temu.

Mas, aku tau. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Menyerah, mengeluh, bahkan putus asa sudah menjadi bagian dari kehidupanku. Aku selalu mencari celah untuk bangkit, sekadar berdiri untuk mulai melangkah kembali. Namun, setiap kali ingin memulainya, sakit itu datang kembali. Aku mencoba meyakinkan diri, membuktikan bahwa kalimat dari mereka yang menyayangi mampu menghidupkanku kembali.

Semua kalimat berupa nasehat, motivasi atau apapun itu memang mampu membuatku tenang walah hanya sebentar. Namun, setelahnya aku kembali merasakan kekosongan yang aku yakini datangnya dari dalam diri bahkan tanpa aku sadari atau peduli.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang