13. Mawar dan Hujan

4.5K 299 19
                                    

Sore sudah berubah malam, sapi mengamuk pun sudah berhasil ditenangkan. Seperti perintah Hiro, Naresh menelepon pemilik sapi tersebut untuk membawa sapinya kembali. Aya berdiri di teras memandang ke depan bersama para pelayan. Menatap mobil pick up yang akan mengangkut si sapi.

“Belum juga sehari sapinya udah dibalikin,” gumam Aya pelan. Matanya tertuju pada sapi yang yang dipaksa naik ke atas mobil oleh dua pria yang datang menggunakan pick up itu. “Selamat tinggal sapi.”

Ketika sapi itu dibawa keluar dari perkarangan rumah, Aya melambaikan tangan, seolah mengucapkan selamat tinggal. Namun, selama berdiri di sana ia tidak sekali pun melihat Hiro keluar untuk melihat kepergian hewan itu.

Aya menarik napas gusar, mulai gundah dengan apa yang telah ia lakukan. Ia ingin jawaban, akan tanya kapan dirinya dibebaskan. Karena pemuda itu tidak pernah terlihat muak meladeni tingkahnya yang tidak masuk akal.

“Lihat akibat dari ulah kamu, Tuan Hiro sampai pingsan. Untung saja tidak lama kemudian Tuan Hiro langsung sadar, jika tidak, sudah habis kamu dicakar Anna,” oceh Cassia pada Naresh yang juga ada di sana. Diam-diam pelayan itu melirik Aya, tetapi tidak berani menyalahkannya. “Kasian sekali Tuan Hiro punya anak buah bodoh seperti kamu.”

“Apa kau bilang?!” Naresh tidak terima. Ia ingin mendekati Cassia yang langsung bersembunyi di belakang punggung pelayan lain.

Lelah berdiri di sana, Aya kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarnya. Ia membersihkan diri dan berganti pakaian. Lalu duduk sejenak di tepi tempat tidur. Setidaknya sampai ia merasa penasaran dengan keadaan Hiro sekarang.

Akhirnya Aya pun menuju ke kamar pemuda itu. Namun, ia malah tidak menemukan Hiro di sana. Karena Aya baru bisa melihat pemuda itu saat ia berdiri di balkon yang menghadap langsung ke halaman belakang. Bertemankan lampu taman, Hiro berkutat dengan mawar-mawar yang berantakan sendirian.

Bergegas Aya menghampirinya.

“Pak!” Panggil gadis itu ketika dia sudah berada satu meter di belakang Hiro. Malam ini berangin, membuat Aya sedikit menggigil, langitnya mendung, awan hitam menutupi bintang dan bulan. Pertanda jika sebentar lagi akan turun hujan.

Hiro fokus pada apa yang dia kerjakan. Tidak sedikit pun berniat menoleh ke arah Aya. Tadinya, Hiro masih mau meladeni gadis itu, tetapi setelah tahu jika mawar-mawarnya rusak akibat sapi yang dibawa Aya, kemarahan langsung menyelubunginya.

“Bapak ngapain sih malam-malam begini?” Aya mencoba menyentuh bahu Hiro. Hanya saja tangannya langsung ditepis detik itu juga. “Bapak marah? Kenapa?”

Suara gemuruh di langit terdengar. Disusul gerimis yang perlahan-lahan berubah menjadi guyuran lebat. Aya yang senantiasa menyukai hujan langsung tersenyum lebar, berbeda dengan Hiro yang justru mematung, memandangi mawar-mawar yang susah payah dirawat Anna untuknya berubah semakin kotor dan basah.

Jika sudah seperti ini apa yang harus dia katakan pada Oliver saat pemuda itu pulang nanti?

“Pak?!” panggil Aya lebih keras, menyaingi suara hujan yang cukup deras. Tapi alih-alih meresponsnya, Hiro justru menangis tiba-tiba.

“Tuan!” Itu suara Anna. Wanita itu muncul tiba-tiba bahkan sebelum Aya sempat bertanya, membawa payung hitam dan berlari mendekati majikannya. “Ayo masuk du—”

“Tidak!” Hiro menoleh ke arah Anna dengan mata memerah.

“Tuan, Anda bisa sakit lagi jika hujan-hujanan seperti ini.” Anna terus membujuk meski di dekat mereka ada Aya yang keheranan.

“Mawarnya rusak semua, Anna!”

Di tempatnya berdiri, Aya langsung menunduk.

“Saya harus bilang apa jika Oliver pulang nanti?” Karena Hiro yakin saudaranya akan bertanya kenapa mawarnya bisa rusak seperti ini. “Dia pasti mengira saya yang merusaknya.”

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang