29. Kekhawatiran Hiro

4.2K 367 117
                                    

Sekarang Aya tidak sadarkan diri, kata Dokter Rafi gadis itu alergi parah terhadap makanan tertentu, dan beliau menyarankan agar ia ditangani langsung oleh Dokter Ahli Alergi Imunologi. Hiro lekas menyetujuinya, juga meminta Dokter Rafi menelepon Dokter tersebut saat itu juga. Untungnya, dalam waktu tidak lama, sang Dokter hadir di rumahnya untuk memeriksa Aya.

"Terima kasih, Dokter," ucap Hiro masih diliputi kekhawatiran.

Dokter Amina mengangguk. Lalu memperingati Hiro agar tidak membiarkan Aya mengonsumsi udang, apalagi secara berlebihan seperti yang gadis itu lakukan tadi siang, itu membahayakan kondisinya.

"Kalau begitu saya pamit dulu, ya."

"Tapi kondisi Aya sudah membaik kan, Dok?" Kepanikan Hiro masih belum berkurang. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

Sang Dokter mengangguk dan tersenyum hangat, meski Hiro sudah menanyakan pertanyaan itu sebanyak lima kali semenjak beliau keluar dari kamar Aya. Setelah itu beliau benar-benar berlalu, meninggalkan Hiro yang menarik napas gusar dan menyugar rambutnya ke belakang.

"Itu salah saya, Tuan, saya yang memasak udang dan membiarkan Ayana memakannya." Di sebelah Hiro, Anna menunduk menyesal. "Tolong maafkan saya."

Hiro tidak menjawab, ia langsung beranjak dari hadapan Anna untuk melihat Aya yang masih terbaring di kamarnya. Punggung tangan gadis itu di pasangi infus.

"Maafkan saya, Ayana," lirih Hiro sembari mengelus rambut Aya yang mulai membuka mata.

"Pak, jangan nangis." Gadis itu langsung mengangkat tangannya dan mengusap-usap pipi Hiro yang mendadak dialiri air mata. Aya tertawa pelan. "Saya yang sakit kok Bapak yang nangis?"

Sepertinya Aya benar-benar tidak tahu setakut dan sekhawatir apa Hiro melihatnya kesakitan seperti tadi. Dan bisa-bisanya ia langsung menertawai Hiro begitu matanya terbuka.

"Saya udah nggak apa-apa kok, Pak. Saya udah sembuh hahaha."

"Jangan ketawa." Hiro manyun.

"Gimana nggak ketawa? Bapak lucu banget kayak bocil." Wajah gadis itu pucat, tetapi tawa dan senyumnya secerah bulan malam ini. Dia masih sangat lemah, tetapi tetap berusaha agar Hiro tidak begitu mengkhawatirkan keandaannya. Aya tidak mau Hiro merasa bersalah atas sakitnya hari ini, karena satu-satunya orang yang harus disalahkan adalah diri Aya sendiri.

Hiro mengusap air matanya dengan jemari.

Sementara Aya meraih Ipad di atas nakas dan membuka fitur kamera. Gadis itu membelalakkan mata, lalu menarik selimut secepat yang ia bisa untuk menutupi wajahnya yang ternyata masih membengkak.

"Kenapa?" tanya Hiro dengan mata masih berkaca-kaca. Tangannya mencoba menarik selimut Aya.

"Jangan ditarik nanti muka saya keliatan." Di balik selimut, Aya mengerucutkan bibir.

"Saya memang ingin melihat wajah kamu."

"Liatnya nanti aja kalau udah nggak bengkak lagi."

"Padahal kalau bengkak kamu kelihatan lucu seperti ikan buntal." Hiro tersenyum jail. "Lagi pula tidak ada gunanya menyembunyikannya, saya sudah melihatnya tadi."

Perlahan-lahan Aya menurunkan selimutnya hingga matanya kelihatan. Gadis itu berdecak. "Harusnya Bapak tutup mata aja, nggak usah liat, saya kan jadi malu."

"Malu kenapa?" tanya Hiro heran. Harusnya gadis itu tidak mempermasalahkan wajahnya yang membengkak saat sedang tidak sehat seperti ini.

Mungkin jika di hadapan orang lain Aya akan bersikap biasa saja dengan wajahnya yang membesar, tapi karena yang duduk di sebelahnya sekarang adalah Hiro, Aya jadi malu. Tidak tahu kenapa. Mungkin karena Hiro masih bisa terlihat tampan bahkan ketika sakit sekali pun.

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang